Namun, apakah kedua institusi ini mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga memiliki kedalaman budaya dan sensitivitas kontekstual?
Menurut Kenneth Frampton (1983) dalam konsep Critical Regionalism, arsitektur yang autentik adalah arsitektur yang mampu mengintegrasikan modernitas dengan nilai-nilai lokal, baik dalam aspek budaya, sosial, maupun ekologis.
Ini menuntut pendidikan arsitektur untuk tidak hanya mengadopsi pola kurikulum dari pusat-pusat metropolitan, tetapi juga mengembangkan pendekatan pembelajaran yang berakar pada kearifan lokal.
Baca Juga: Misbakhun Usulkan Tarif PPN Turun Jadi 10 Persen
Realitanya, banyak kurikulum pendidikan arsitektur masih sangat berorientasi pada model global dan nasional, tanpa memberikan ruang cukup untuk eksplorasi budaya, kearifan lokal dan karakter ekologi tropis.
Akibatnya, lulusan lebih cenderung menguasai teknik desain bergaya universal tanpa mampu meramu identitas lokal menjadi bahasa visual yang unik dan bermakna.
Selain itu, ketidakcukupan keterlibatan dalam praktik nyata menjadikan lulusan arsitektur cenderung sebagai “tukang gambar” yang pasif, bukan sebagai agen perubahan ruang.
Hal ini sesuai dengan pandangan Rapoport (1969) yang menekankan bahwa arsitektur harus memahami “house form and culture” sebagai manifestasi kebutuhan sosial dan simbolis.
Baca Juga: Anggota DPR Terima 'Take Home Pay' Rp65,5 Juta Usai Tunjangan Dipangkas
Jika pendidikan gagal menginternalisasi hal ini, maka arsitektur lokal akan kehilangan jiwa.
Untuk itu, lembaga pendidikan harus melakukan reformasi kurikulum yang lebih responsif terhadap konteks lokal, memfasilitasi riset dan proyek lapangan yang berorientasi pada penerapan arsitektur kontekstual.
Pengembangan program mentorship dan kolaborasi dengan praktisi profesional juga menjadi elemen krusial agar lulusan siap pakai dan mampu berkontribusi secara substansial.
Baca Juga: Dudung Abdurachman Buka Suara soal Darurat Militer
Dukung Arsitek Muda Jangan Hanya Jadi Penonton
Arsitek muda di Jambi adalah modal berharga untuk regenerasi kualitas arsitektur lokal. Mereka biasanya lebih dinamis, terbuka terhadap inovasi, dan lebih peka terhadap aspirasi masyarakat.
Artikel Terkait
Kedewasaan Sahabat Alam Jambi Melihat Polemik TUKS PT SAS
Safe Haven di Era Digital, Emas Vs Bitcoin Mana Unggul?
Waktunya Bersih-bersih Sungai Batanghari dari TUKS yang Menyimpang
Menegakkan Kewarasan Berpikir Dalam Isu Investasi dan Lingkungan
Sahabat Alam Jambi: Jaga Alam, Kawal Investasi dan Lawan Hoax Mendiskreditkan Pemimpin
PSI Bersama Mahasiswa: Dukung Gerakan Demokrasi, Tolak Anarkisme dan Vandalisme
Solidaritas yang Dikhianati, Kemarahan yang Meledak
Program 3 Juta Rumah Memenuhi Amanat Konstitusi dan Tantangan Nyata Dilapangan