GEMA LANTANG, JAMBI -- Sebuah tangkapan layar atau screen shoot mampir di HP saya siang kemarin, karena memang sibuk dengan berbagai agenda dari pagi hingga sore, baru jelang tengah malam saya membacanya dengan seksama.
Isinya berupa potongan narasi tentang " tertib administrasi, transparansi, dan sinergi kelembagaan daerah akan beranjak dari ketergantungan dan menuju kemandirian fiskal.
Atas dasar ini sang pengirim pesan bertanya, apakah kerapian administrasi benar-benar sejalan dengan kemandirian ekonomi Jambi?.
Maka, lewat tengah malam, saya mencoba menceritakan kemandirian fiskal sebuah The Untold Story, realitas daerah yang masih bergantung pada pusat yang enggan diceritakan.
Baca Juga: Heboh Genk Motor, Pengamat: Jangan Samakan dengan Mafia
Kemandirian fiskal sejatinya bukan sekadar jargon teknokratis. Ia adalah kemampuan daerah membiayai kebutuhan dan prioritas pembangunannya dengan sumber daya keuangan yang digali secara mandiri, berkelanjutan, dan proporsional.
Dalam literatur keuangan publik, kemandirian fiskal merefleksikan kapasitas daerah untuk menghasilkan pendapatan sendiri dibandingkan dengan total belanja yang harus dibiayai.
Semakin tinggi rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan, semakin tinggi pula derajat kemandirian fiskal. Dengan kata lain, daerah dikatakan mandiri secara fiskal ketika ia mampu berdiri di atas kekuatan ekonomi dan sumber penerimaannya sendiri, bukan karena “infus” transfer dari pemerintah pusat.
Baca Juga: 'Lansia Bahagia' dan 'Kota Tangguh' milik Maulana di Persimpangan Transparansi
Dalam konteks Jambi, kenyataannya masih jauh dari itu. Lebih dari dua pertiga pendapatan daerah masih bersumber dari dana transfer pusat, sementara kontribusi PAD tidak pernah menembus sepertiga dari total penerimaan.
Artinya, tanpa suntikan fiskal dari pusat, APBD Jambi tidak akan mampu menopang program pembangunan dasar. Dalam situasi seperti ini, berbicara tentang kemandirian fiskal sama saja dengan membangun rumah di atas pondasi yang rapuh.
Lebih problematik lagi, sebagian pihak mencoba menjustifikasi praktik penumpukan dana daerah di bank sebagai wujud kedewasaan fiskal—seolah menahan belanja adalah tanda kehati-hatian.
Baca Juga: Kesadaran Moral Dibalik Anugerah Kebudayaan, Renungan Tentang Kebohongan dan Korupsi
Artikel Terkait
Solidaritas yang Dikhianati, Kemarahan yang Meledak
Program 3 Juta Rumah Memenuhi Amanat Konstitusi dan Tantangan Nyata Dilapangan
Jambi Butuh Arsitek yang Berakar Bukan Tukang Gambar
Antara Narasi Krisis dan Rasionalitas Dalam Polemik TUKS PT SAS
PT SAS dan Masa Depan Jambi: Dialog Jangan Jadi Panggung Provokasi
Menguak Konflik TUKS PT SAS: Hak Masyarakat Vs Kepentingan Ekonomi
Golkar dan Tantangan Regenerasi Politik di Era Digital
Tanpa Jalan dan Pelabuhan Khusus, Emas Hitam jadi Beban
Wajah Gelap Tambang Jambi: Ketika Negara Kalah di Koto Boyo
Kesadaran Moral Dibalik Anugerah Kebudayaan, Renungan Tentang Kebohongan dan Korupsi