Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan pemerintah daerah sering memiliki angka berbeda terkait saldo kas dan posisi keuangan. Dalam situasi ini, transparansi tanpa konsistensi data hanyalah mitos administratif.
Transparansi sejati menuntut sistem pelaporan yang terintegrasi dan terbuka bagi publik.
Lebih lanjut, banyak daerah berbangga dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Namun, predikat tersebut tidak otomatis sejalan dengan kesejahteraan masyarakat.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Ancam Tak Perpanjang Izin Aqua
Banyak daerah WTP tetap memiliki angka kemiskinan dan pengangguran tinggi. Ini menunjukkan bahwa tertib administrasi bukan jaminan efektivitas pembangunan.
Yang menentukan bukan sekadar seberapa rapi pembukuan, melainkan seberapa kuat hasilnya dalam meningkatkan kualitas hidup rakyat.
Maka, jalan menuju kemandirian fiskal tidak cukup ditempuh dengan penguatan regulasi dan disiplin administratif. Ia menuntut perubahan paradigma fiskal yang lebih berani dan produktif.
Baca Juga: Budaya 'Sungkan' di Pemerintahan Tuai Kritikan, Bayangan Feodal yang Belum Usai
Pemerintah daerah harus menata ulang struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada komoditas primer seperti sawit dan batubara, serta mendorong sektor-sektor baru — industri hilir, ekonomi kreatif, pariwisata, dan jasa modern — untuk memperluas basis pajak dan PAD. Aset daerah, termasuk BUMD, lahan, dan properti publik, mesti dikelola dengan prinsip korporasi, bukan birokrasi.
Pada akhirnya, menyebut tata kelola keuangan Jambi sebagai “jalan bijak menuju kemandirian fiskal” masih terlalu dini. Jalan itu belum terbentang, bahkan pondasinya belum kokoh.
Yang baru dilakukan sejauh ini lebih tepat disebut sebagai upaya menuju keteraturan birokrasi, bukan kemandirian ekonomi.
Baca Juga: Purbaya Curhat Balpres Pakaian Bekas Bikin Rugi
Kemandirian fiskal sejati lahir ketika pemerintah daerah tidak sekadar mengelola uang dengan benar, tetapi mengelola uang untuk menghasilkan kebenaran ekonomi — pertumbuhan, lapangan kerja, dan kesejahteraan.
Selama dana publik masih lebih banyak mengendap di bank daripada berputar di pasar dan masyarakat, maka kemandirian fiskal Jambi akan tetap menjadi wacana indah, tapi kosong di hadapan realitas.
Artikel Terkait
Solidaritas yang Dikhianati, Kemarahan yang Meledak
Program 3 Juta Rumah Memenuhi Amanat Konstitusi dan Tantangan Nyata Dilapangan
Jambi Butuh Arsitek yang Berakar Bukan Tukang Gambar
Antara Narasi Krisis dan Rasionalitas Dalam Polemik TUKS PT SAS
PT SAS dan Masa Depan Jambi: Dialog Jangan Jadi Panggung Provokasi
Menguak Konflik TUKS PT SAS: Hak Masyarakat Vs Kepentingan Ekonomi
Golkar dan Tantangan Regenerasi Politik di Era Digital
Tanpa Jalan dan Pelabuhan Khusus, Emas Hitam jadi Beban
Wajah Gelap Tambang Jambi: Ketika Negara Kalah di Koto Boyo
Kesadaran Moral Dibalik Anugerah Kebudayaan, Renungan Tentang Kebohongan dan Korupsi