“Dengan kejadian ini mohon maaf, kita ambil hikmahnya. Ternyata beberapa SPPG mungkin melakukan di luar SOP yang sudah ditetapkan, mungkin ada yang masaknya terlalu cepat, ada yang airnya juga,” ungkapnya.
Kepala Bappisus itu bahkan menegaskan, hingga kini, evaluasi itu masih dilakukan lintas kementerian dan lembaga.
Baca Juga: Purbaya Bongkar Biang Kerok Banyaknya Pekerjaan Informal di RI
Hal itu tak hanya soal teknis dapur, tapi juga rantai pasokan bahan pangan dan sistem distribusi.
“Program ini bagus untuk generasi sehat, generasi pintar, generasi emas negara Republik Indonesia,” tegas Aries.
Di lain pihak, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama sempat mengingatkan agar investigasi tak berhenti di dapur semata.
Sebelumnya diketahui, berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Kesehatan Jawa Barat, terdapat penyebab dominan ditemukan dalam kasus keracunan massal para siswa di daerah Jabar.
Hal itu bakteri Salmonella dari makanan berprotein tinggi seperti daging dan telur, serta Bacillus cereus akibat penyimpanan nasi yang tidak tepat.
Terkait hal tersebut, Tjandra menyebut terdapat banyak faktor yang bisa menyebabkan keracunan makanan massal.
Baca Juga: Bahlil Tepis Isu Sengaja Ganggu Investasi SPBU Swasta
“Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan,” kata Tjandra dalam keterangan resminya, pada Sabtu, 27 September 2025 lalu.
Tjandra menegaskan, faktor penyebab bisa datang dari banyak arah, mulai dari kebersihan alat masak, sanitasi air, hingga distribusi bahan mentah.
“Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” ujarnya.
Langkah cepat BGN patut diapresiasi. Tapi dalam jangka panjang, program MBG membutuhkan tata kelola yang lebih kuat, mulai dari pengawasan bahan baku, standardisasi dapur, hingga kontrol distribusi makanan di setiap daerah.