GEMA LANTANG, JAMBI -- Fenomena penolakan terhadap kegiatan investasi di tingkat daerah semakin nyata di Provinsi Jambi.
Narasi yang digunakan hampir selalu seragam: ancaman pencemaran lingkungan, kerusakan sosial, hingga tuduhan penguasaan ruang publik oleh kepentingan bisnis tertentu.
Namun, bila ditelisik lebih jauh, banyak penolakan yang justru dibayangi tarik-menarik kepentingan ekonomi, persaingan bisnis, dan dinamika politik lokal yang dibungkus dengan bahasa moral dan ekologis.
Polarisasi opini publik di Jambi tumbuh subur, terutama terkait proyek-proyek strategis yang bernilai ekonomi tinggi dan berdampak luas.
Baca Juga: Pengamat: Putusan Ombudsman Bukan Bukti Pelanggaran Wali Kota Jambi
Isu-isu ini sering berkembang massif melalui media sosial, media daring, dan jejaring komunitas. Sering kali, fakta teknis, dokumen perizinan, analisis tata ruang, maupun rencana mitigasi dampak lingkungan tidak tersosialisasikan dengan memadai.
Akibatnya, diskursus publik lebih banyak dipenuhi opini sinis daripada data, dan konflik sosial berpotensi meningkat.
Sikap pemerintah daerah dan otoritas lokal dalam kondisi ini cenderung pasif.
Pemerintah tampak menunggu, menghindari kontroversi, atau merespons secara normatif saja. Kekosongan ‘media’ ini membuat ruang dialog diisi oleh actor-aktor, dengan agenda yang tidak selalu selaras dengan kepentingan publik.
Dalam konteks pembangunan, absennya mediasi resmi adalah akar masalah yang memperburuk konflik, meningkatkan ketidakpastian, dan menunda kemajuan ekonomi daerah.
Preseden serupa dapat ditemukan di sejumlah provinsi lain, di mana penolakan terhadap proyek strategis berlarut-larut karena minimnya mekanisme dialog yang kredibel.
Baca Juga: Program Bedah Rumah Jambi Layak Menjadi Model Kolaborasi Daerah
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa konflik membesar bukan hanya akibat dampak proyek, melainkan karena lemahnya komunikasi publik dan absennya ruang klarifikasi.