Program RTLH memang tidak berdiri dalam satu payung tunggal, melainkan merupakan ekosistem kebijakan nasional yang melibatkan berbagai entitas.
Oleh karena itu, menilai capaian hanya dari satu kanal pendanaan (misalnya APBD provinsi) untuk kemudian mengambil kesimpulan bahwa pemerintah “mengabaikan ribuan rumah” jelas merupakan cara baca yang tidak tepat dan menyesatkan. Kebijakan publik tidak bisa dinilai dengan perspektif parsial seperti itu.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Ancam Rumahkan Seluruh Pegawai Bea Cukai
Kedua, kritik yang muncul tampak mengabaikan fakta fundamental mengenai pembagian kewenangan dalam penanganan RTLH. Berdasarkan Permendagri Nomor 900 Tahun 2019, kewenangan provinsi dalam penanganan RTLH hanya terbatas pada kawasan permukiman kumuh dengan luasan 5 sampai 15 hektar yang berada di perkotaan.
Artinya, provinsi tidak memiliki kewenangan langsung untuk menangani seluruh RTLH di desa dan kelurahan pada skala yang luas—itu adalah domain kabupaten/kota. Dalam kerangka desentralisasi Indonesia, provinsi berperan sebagai koordinator dan fasilitator, bukan eksekutor utama untuk seluruh RTLH.
Ketika kritik meminta Pemprov menyelesaikan seluruh 11 ribuan usulan seolah-olah itu merupakan kewenangan tunggal provinsi, maka kritik tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga bertentangan dengan sistem tata kelola yang berlaku.
Kewenangan provinsi memang terbatas, tetapi justru dalam ruang kewenangan yang sempit itulah Pemprov Jambi mampu mengoptimalkan perannya sebagai koordinator dan penghubung antar lembaga—dan inilah yang menghasilkan capaian kolaboratif hingga 11 ribu unit tadi.
Baca Juga: Kades Super Tangguh Terima Oleh-oleh, Ini Pesan Fadhil Arief
Ketiga, harus kita akui bahwa keterbatasan fiskal menjadi faktor penentu keberhasilan program RTLH di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jambi.
Cakupan APBD provinsi—terutama provinsi dengan PAD yang kecil—sangat terbatas untuk menanggung biaya bedah rumah yang rata-rata memerlukan sekitar Rp20–25 juta per unit.
Jika provinsi dipaksa untuk menangani ribuan unit dengan APBD sendiri, maka konsekuensinya adalah terganggunya layanan publik lain yang tidak kalah penting: pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, dan pelayanan dasar lainnya.
Oleh sebab itu, provinsi yang bijaksana tidak akan melakukan kebijakan populis yang mengorbankan stabilitas fiskal.
Dalam posisi fiskal seperti itu, Pemprov Jambi justru memperlihatkan kinerja yang patut diapresiasi.
Baca Juga: Buntut Skandal Penyelundupan 2 Ton Sabu usai Operasi Senyap RI-Kamboja
Artikel Terkait
Kades Super Tangguh Terima Oleh-oleh, Ini Pesan Fadhil Arief
Di Balik Kemajuan Tirta Mayang, Pengamat Ingatkan Risiko Stagnasi
Fadhil Arief Siap Dukung Kompetisi Liga Pelajar Sepak Bola
Menkeu Purbaya Ancam Rumahkan Seluruh Pegawai Bea Cukai
Kinerja Pidsus 2025: Kejati Sumsel Bongkar Kerugian Negara Triliunan Rupiah
Hadiri Paripurna DPRD Batang Hari Bahas Ranperda, Ini Harapan Fadhil Arief
Menyingkap 'Kinerja' Pansel Tirta Mayang yang Diterjang Isu
Bina Marga Kebut 461 Proyek Ruas Jalan di Kota Jambi
Pengamat Peringatkan Warga Aur Kenali Waspadai 'Gerilya' Korporasi Batubara
Kekeruhan Sungai Batanghari Tembus 1700 NTU, Tertinggi Sepanjang Sejarah