GEMA LANTANG, JAMBI -- Ketika ruang tidak lagi dihormati sebagai pijakan utama pembangunan, benturan antara kepentingan dan keadilan hanyalah soal waktu.
Inilah yang kini terjadi dalam polemik keberadaan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) PT Sinar Agung Sukses (PT SAS) di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi.
Persoalan ini bukan sekadar konflik antara industri dan masyarakat, tetapi lebih dalam, krisis ketaatan terhadap hukum, khususnya terhadap Peraturan Daerah Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Tahun 2024–2044.
Baca Juga: Menanti Menpora Baru yang Bakal Dilantik Prabowo
Warga menuntut agar TUKS PT SAS ditutup secara permanen karena keberadaannya jelas tidak sesuai peruntukan ruang sebagaimana diatur dalam RTRW.
Pemerintah Provinsi Jambi, melalui Gubernur, justru memutuskan penutupan sementara, keputusan yang dianggap mengambang dan jauh dari harapan warga yang telah lama terdampak.
Dalam situasi seperti ini, solusi yang bijak harus menemukan titik temu yang tidak mengabaikan hak konstitusional masyarakat sekaligus memberikan ruang bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: 5 Jejak Kasus Korupsi Haji 2024 yang Bikin Boncos RI Rp1 Triliun
Dokumen hukum menjadi pijakan utama: Pasal 100 huruf d Perda RTRW Kota Jambi Nomor 5 Tahun 2024 menegaskan bahwa setiap orang berhak mengajukan tuntutan terhadap pembangunan yang tidak sesuai rencana tata ruang.
Ini bukan sekadar norma administratif, melainkan hak konstitusional warga dalam sistem demokrasi. Ruang hidup mereka dilindungi oleh hukum, bukan sekadar emosi atau sentimen.
Lebih lanjut, Pasal 101 menuntut setiap orang untuk menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan ketentuan yang bersifat imperatif.
Baca Juga: Audiensi Konflik PT SAS, Warga: Bapak Walikota Mantap
Ketika sebuah badan usaha membangun dan mengoperasikan TUKS di zona yang bukan diperuntukkan untuk itu, maka ini adalah pelanggaran hukum yang nyata dan harus ditindaklanjuti sesuai peraturan.