“Mungkin di mana ada pemberhentian di sekitar jalur Whoosh supaya ekonomi sekitar tumbuh itu harus dikembangkan ke depan. Jadi ada betulnya,” terang Purbaya.
Pernyataan ini menunjukkan Purbaya berupaya menempatkan proyek-proyek lama dalam konteks yang lebih produktif, bukan sekadar membela atau menyalahkan proyek infrastruktur seperti Whoosh di era Jokowi.
Di lain pihak, pandangan berbeda datang dari mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus pengamat politik, Said Didu.
Baca Juga: Ketua KPK Ungkap Kabar Terbaru soal Dugaan Kasus Korupsi Whoosh
Said Didu: Purbaya Buka Kotak Pandora Era Jokowi
Terpisah, Said Didu menilai langkah dan ucapan Purbaya justru membuka “kotak pandora” atas kebobrokan anggaran di era Presiden Jokowi.
“Purbaya dengan gaya netral membuka kotak pandora terhadap hal-hal yang selama ini seakan-akan baik-baik saja," ujar Said Didu dalam program Rakyat Bersuara, Rabu, 29 Oktober 2025.
"Padahal kelebihan narik anggaran, dana ke daerah (kebijakan Menkeu terdahulu) sangat bobrok,” imbuhnya.
Said Didu bahkan membandingkan langsung pendahulu Purbaya, Sri Mulyani Indrawati yang dinilai terlalu dominan dalam menentukan arah fiskal negara.
Menurutnya, hasil kebijakan di masa Sri Mulyani justru membuat beban utang melonjak.
Baca Juga: Kemenhaj Sempat Kena Semprot DPR, Biaya Haji 2026 Turun
“Sebagai pejabat publik, apa hasilnya kebijakan Sri Mulyani? Menaikkan utang dari Rp8.000 triliun menjadi Rp24.000 triliun," sebut Said Didu.
"Menaikkan cicilan utang dari Rp400 triliun menjadi Rp1.600 triliun, bunga utang dari 2 persen menjadi 6-7 persen,” ungkapnya.
Membuka Jalan Baru Kebijakan Fiskal
Said Didu menilai, angka utang yang diklaim pemerintah hingga akhir 2024 sebesar Rp10.269 triliun belum sepenuhnya mencerminkan kondisi riil.
Terlebih, pengamat politik itu menyebut, kika menghitung seluruh kewajiban termasuk utang BUMN, pensiunan, dan tanggungan tertunda, maka jumlahnya bisa mencapai Rp24.000 triliun.