"Kalau dana JETP saja belum jelas, bagaimana kita bisa yakin lonjakan energi bersih terjadi tepat waktu?" ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).
Baca Juga: Bahlil Tegur Bos PLN, Arief Rosyid: Tak Boleh Ada yang Salah
Menurutnya, tanpa percepatan lelang proyek EBT dan pembenahan regulasi pasar listrik, target 2030 hanya akan menjadi angka di dokumen.
Ketergantungan yang Berisiko
Sementara itu, PLN berdalih transisi harus dilakukan bertahap. Gas disebut sebagai jembatan untuk menjaga pasokan.
Dalam rilis resminya, PLN menegaskan komitmen 76 persen dari tambahan kapasitas adalah EBT. Namun di saat bersamaan, perusahaan juga menegaskan akan menyelesaikan proyek fosil yang sudah telanjur masuk pipeline.
Baca Juga: Alasan di Balik Reformasi Polri: Muncul Tim Transformasi dan Tantangan Implementasi
Bagi pengamat, pola back loaded atau menumpuk proyek di akhir dekade sarat risiko. Selain bottleneck pembiayaan dan izin, ada ancaman rantai pasok ketika banyak proyek dikebut serentak.
Pusat Penelitian DPR menyoroti hal ini, semakin lama transisi ditunda, semakin berat beban yang harus diselesaikan sekaligus.
Janji Hijau yang Masih Tertunda
Di balik semua angka, cerita transisi energi sesungguhnya menyangkut kualitas udara yang dihirup jutaan warga, kesehatan masyarakat, dan daya saing ekonomi.
Baca Juga: Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Mengaku Tak Tahu Ada Diskon Tarif Listrik
Ketika dunia bergerak cepat meninggalkan batu bara, Indonesia masih menunda langkah besar hingga awal 2030-an.
"Semakin lama kita menunggu, semakin mahal biaya yang harus dibayar," kata peneliti CREA dalam laporannya.
PLN boleh menyebut rencananya paling hijau. Namun bagi publik, pertanyaan sederhana masih menggantung: apakah janji hijau itu benar-benar akan hadir tepat waktu, atau hanya tinggal angka di atas kertas?.(***)