Senin, 22 Desember 2025

‎Janji Hijau PLN: Berlari di Dokumen, Tertatih di Realita

Photo Author
- Rabu, 24 September 2025 | 10:19 WIB
‎Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada Konferensi Pers RUPTL 2025-2034 di Jakarta, Senin 26 Mei 2025. (Ist)
‎Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pada Konferensi Pers RUPTL 2025-2034 di Jakarta, Senin 26 Mei 2025. (Ist)

‎GEMA LANTANG -- PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau dikenal PLN menyebut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 sebagai yang paling hijau sepanjang sejarah perusahaan.

‎Dalam rilis resminya pada 28 Mei 2025, PLN menyebut, dari 69,5 GW kapasitas baru yang akan dibangun sepuluh tahun ke depan, 76 persen dialokasikan untuk energi terbarukan, mulai dari surya, air, panas bumi, hingga penyimpanan energi.

‎Di atas kertas, rencana ini terdengar ambisius. Publik pun berharap, Indonesia segera meninggalkan bayang-bayang batu bara yang selama ini identik dengan polusi dan beban kesehatan.

Baca Juga: PLTU dan Tagihan Sunyi Kesehatan Publik: Ribuan Kematian Dini dan Triliunan Rupiah Melayang

‎Namun ketika dicermati lebih dalam, ada tanda tanya besar, mengapa sebagian besar proyek energi bersih justru baru benar-benar berjalan di awal 2030-an?.

‎Janji di Ujung Dekade

‎PLN membagi pembangunan pembangkit baru dalam dua fase. Lima tahun pertama (2025-2029) hanya sekitar 27,9 GW, sedangkan lima tahun kedua (2030-2034) mencapai 41,6 GW. Artinya, mayoritas energi terbarukan baru akan masuk sistem setelah 2030.

‎Pola ini membuat kritik mengalir. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai rencana tersebut masih terlalu ramah pada energi fosil.

‎Hingga 2034, pembangkitan listrik dari batu bara dan gas justru diproyeksikan naik lebih dari 40 persen dibanding 2024. Bahkan, ada tambahan 16,6 GW pembangkit fosil baru.

Baca Juga: PLN Garap 2 Proyek Pembangkit Panas Bumi di Bengkulu

‎"Ketergantungan pada fosil tetap berlanjut," tulis laporan CREA dalam laman resminya, seperti dikutip pada 24 September 2025.

‎Ambisi dan Realitas

‎Pemerintah sejatinya telah menggembar-gemborkan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 320 triliun.

‎Kesepakatan ini mencakup janji puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan bauran energi terbarukan 44 persen pada tahun yang sama.

‎Namun dana transisi itu macet, hibah terlalu kecil, pinjaman belum menarik, dan negosiasi pensiun dini PLTU, seperti Cirebon-1 di Jawa Barat, belum juga tuntas.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Rahmad Ade

Tags

Artikel Terkait

Terkini

D’Raja Law Firm, Mitra Hukum Terpercaya di Indonesia

Selasa, 16 Desember 2025 | 19:16 WIB

Pengamat: Perpol Kapolri tak Langgar Keputusan MK

Minggu, 14 Desember 2025 | 12:55 WIB

Pengamat Sebut Temuan Ombudsman RI Bukan Putusan Hukum

Sabtu, 13 Desember 2025 | 15:57 WIB

Tanfidziyah Copot Gus Ipul dari Posisi Sekjen PBNU

Sabtu, 29 November 2025 | 08:37 WIB
X