GEMA LANTANG, JAMBI -- Di tepian Sungai Batanghari, tepatnya di kawasan Koto Boyo, aktivitas truk batubara tak pernah benar-benar berhenti.
Malam dan siang berganti, namun deru mesin dan debu hitam menjadi penanda denyut ekonomi gelap yang telah lama beroperasi di balik tambang-tambang Jambi.
Di sinilah jejak para “mafia batubara” menancap kuat, membentuk jaringan rumit yang menghubungkan pengusaha, pemodal, oknum aparat, hingga pejabat lokal.
Modus utama para pemain ini berawal dari perizinan. Banyak tambang di Jambi sebenarnya berada di area dengan izin yang sudah kadaluarsa atau belum memenuhi syarat lingkungan.
Baca Juga: Potret 'Kelam' Aksi Ilegal Mafia Batubara Jambi
Namun di atas kertas, dokumen tetap “bersih” karena permainan administrasi. Beberapa lahan kebun sawit yang memiliki izin HGU disulap menjadi area tambang dengan modus kerja sama operasional, padahal itu melanggar tata ruang.
Celah hukum ini jadi pintu masuk operasi ilegal yang sulit disentuh karena berlindung di balik perusahaan resmi.
Dari titik inilah rantai ekonomi gelap berjalan. Produksi batubara dilaporkan jauh di bawah realitas. Misalnya, satu pit menghasilkan 10 ribu ton, tapi yang tercatat hanya separuhnya.
Sisanya dijual lewat jalur tidak resmi, menggunakan dokumen palsu atau manifes yang digandakan. Di sinilah para makelar izin, oknum pejabat lapangan, hingga aparat di tingkat bawah berperan menjaga kelancaran arus keluar batubara “siluman”.
Baca Juga: Polemik PPTB Jambi Menggerus Kepercayaan Pengusaha Batubara
Jalur distribusi menjadi simpul penting lain. Batubara dari Batanghari dan Sarolangun biasanya menuju pelabuhan di Tembesi, Talang Duku, atau pelabuhan darurat di pinggir sungai yang dibangun tanpa izin lengkap.
Banyak dermaga “bayangan” beroperasi hanya dengan surat rekomendasi sementara. Dari pelabuhan ini, batubara langsung dikapalkan menuju luar daerah, bahkan ekspor kecil-kecilan ke Pulau Sumatera bagian selatan, tanpa melewati pengawasan Bea Cukai yang memadai.
Dalam praktiknya, truk-truk pengangkut sering memanfaatkan malam hari untuk melintasi jalur yang dilarang. Sopir hanya bermodalkan “tanda pengenal” yang diberikan oleh koordinator lapangan — istilah halus untuk pengatur jalan.