"Dokumen-dokumen ini bukan sekadar formalitas, tetapi dapat diuji, dikritisi, dan diawasi pelaksanaannya." sebutnya.
Yang menjadi persoalan adalah ketika pihak-pihak tertentu membangun narasi yang mengesankan bahwa semua itu pasti akan gagal, dan bahwa perusahaan pasti akan mencemari lingkungan.
"Ini bukan lagi pandangan akademik, tetapi populisme ekologis yang berbasis pada ketakutan kolektif." bebernya
"Apakah kita lupa bahwa negara ini dibangun di atas prinsip hukum dan mekanisme pengawasan? Bahwa kolaborasi antara masyarakat sipil, dunia usaha, dan pemerintah adalah fondasi dari pembangunan berkelanjutan?" tambah Jefri.
Baca Juga: Kemendag Amankan 19.391 Bal Pakaian Bekas Impor Ilegal Senilai Rp112 Miliar
Diksi “Londo Ireng” dan Kemunduran Etika Intelektual
Penggunaan istilah “Londo Ireng” sebagai cap terhadap akademisi, aktivis, atau siapa pun yang mendukung proyek investasi ini adalah bentuk kemunduran intelektual. Diksi ini bukan hanya tendensius, tetapi juga tidak layak diucapkan oleh seorang intelektual publik.
Jefri menggarisbawahi bahwa mendukung investasi tidak sama dengan tunduk pada kepentingan korporasi.
"Justru di situlah peran kita untuk mengawal agar investasi yang hadir tetap berada dalam rel tanggung jawab sosial dan lingkungan." imbuhnya kepada Gema Lantang, Rabu 20 Agustus 2025.
"Kami, dari Perkumpulan Sahabat Alam Jambi, bukan bagian dari korporasi mana pun. Kami adalah masyarakat sipil yang mendorong pembangunan yang berimbang yang memadukan perlindungan lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi." tambahnya.
Labelisasi seperti “londo ireng” adalah bentuk pembunuhan karakter yang tidak hanya merendahkan orang lain, tetapi juga mencemari marwah akademisi itu sendiri.
Baca Juga: Sasmito Hadinagoro Desak Pemerintah Hentikan Subsidi Rekap BCA dan Bongkar Skandal BLBI
Rakyat Butuh Data, Bukan Dendam
Salah satu argumen yang sering dikemukakan oleh penolak proyek ini adalah bahwa rakyat akan bangkit melawan. Namun pertanyaannya, sudahkah dilakukan survei?
Sudahkah didengar semua suara, termasuk dari masyarakat yang justru menginginkan akses pekerjaan, perbaikan infrastruktur, dan peningkatan ekonomi?
Seringkali, atas nama rakyat hanya menjadi selubung untuk menyuarakan kepentingan politik tertentu.