Tetapi, dalam kenyataan politik hari ini, suara rakyat justru dibungkam oleh arogansi pejabat dan apatisme sistemik. Ketika tanggung jawab ini tidak lagi menjadi nilai dasar pejabat publik, solidaritas pun hanya tinggal slogan.
Kita menyaksikan bukan sekadar kegagalan moral individu, tapi kerusakan struktural dalam praktik kekuasaan. Para penguasa lupa bahwa kekuasaan mereka berasal dari rakyat.
Mereka menikmati hak-hak istimewa sembari melupakan bahwa jabatan itu amanat, bukan alat untuk memperkaya diri atau mempertahankan kuasa dengan gaya feodal.
Baca Juga: NasDem Resmi Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach di DPR
Kemarahan rakyat bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari penumpukan rasa tidak adil, dipicu oleh kebijakan yang tak berpihak, komunikasi publik yang merendahkan, dan hilangnya ruang partisipasi bermakna.
Ketika kritik dijawab dengan cemooh, ketika penderitaan dijawab dengan statistik, dan ketika dialog diganti dengan protokol formal, maka rakyat pun berhenti berharap.
John Rawls (1971) menekankan bahwa keadilan sosial adalah prinsip utama dalam struktur dasar masyarakat. Namun, dalam praktik politik kita, prinsip ini kerap dikesampingkan demi kepentingan elite. Hasilnya? Ketimpangan, alienasi politik, dan meledaknya rasa tidak percaya.
Hannah Arendt (1958) menyebut matinya ruang publik terjadi saat kekuasaan hanya menjadi milik segelintir orang, dan rakyat kehilangan kesempatan untuk bicara dan didengar.
Dalam konteks inilah, kemarahan menjadi ekspresi politis yang muncul ketika jalur formal tidak lagi memberi harapan.
Baca Juga: Fraksi Demokrat: Dengar Rakyat, Bantu Rakyat, Bantu Rakyat
Melawan Budaya Arogansi: Politik Etis sebagai Jalan Pemulihan
Kita menolak politik gaya lama yang elitis dan anti-kritik. Kita menolak politik yang memisahkan penguasa dari yang dikuasai, dan menghidupkan kembali nilai solidaritas sebagai fondasi kebijakan.
Pertama, kita butuh pendidikan politik etis yang membentuk karakter pejabat publik yang punya empati dan tanggung jawab sosial. Bukan hanya cerdas administrasi, tapi juga manusiawi dan rendah hati.
Kedua, ruang partisipasi rakyat harus dibuka selebar-lebarnya. Forum dengar pendapat yang inklusif dan tanpa protokoler bisa menjadi ventilasi sosial, tempat rakyat menyampaikan suara tanpa rasa takut dan tanpa dibungkam.
Ketiga, audit moral terhadap institusi publik harus diperkuat. Integritas tak cukup diukur dari laporan keuangan bersih—ia harus dinilai dari respons terhadap kritik, kedekatan dengan rakyat, dan komitmen pada pelayanan.
Artikel Terkait
Kedewasaan Sahabat Alam Jambi Melihat Polemik TUKS PT SAS
Safe Haven di Era Digital, Emas Vs Bitcoin Mana Unggul?
Waktunya Bersih-bersih Sungai Batanghari dari TUKS yang Menyimpang
Menegakkan Kewarasan Berpikir Dalam Isu Investasi dan Lingkungan
Sahabat Alam Jambi: Jaga Alam, Kawal Investasi dan Lawan Hoax Mendiskreditkan Pemimpin
PSI Bersama Mahasiswa: Dukung Gerakan Demokrasi, Tolak Anarkisme dan Vandalisme