Mahfud juga menyebut bahwa negara peminjam harus memberikan prioritas kepada Bank China atas kreditur lainnya, misalnya jika terjadi pailit atau restrukturisasi.
Bayang-bayang Wanprestasi
Sebagai perjanjian bisnis, ada juga diatur tentang kriteria wanprestasi dalam proyek antardua negara ini, tak lain ketika tidak ada lagi hubungan diplomasi.
“Jika terjadi pemutusan hubungan diplomatik, maka negara peminjam atau debitur dianggap wanprestasi,” ucap Mahfud.
“Dari dokumen kontrak yang diteliti itu, ada sebanyak 30 persen yang memuat ketentuan bahwa negara peminjam atau debitur wajib menyetor aguan di tempat khusus yang dipegang oleh China,” paparnya.
Kemungkinan penyitaan aset yang diagunkan, kata Mahfud juga bisa terjadi jika terjadi kebangkrutan.
Baca Juga: Sekda Bekasi Bantah Pernyataan Purbaya soal Jual Beli Jabatan
Ia lantas mencontohkan pelabuhan Sri Lanka yang disita oleh China karena gagal bayar pada proyek yang dilakukan.
Utang Pemerintah Dianggap Utang Rakyat
Terakhir, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi ini juga menyebut bahwa utang pemerintah dianggap utang rakyat.
“Rakyat seperti tidak boleh meminta pertanggungjawaban pemerintahnya lebih dulu untuk menyelesaikan kontrak sesuai dengan isi perjanjian dan semua yang dijaminkan,” terangnya.
Ketentuan Kontrak China Tak Bisa Disalahkan
Mengenai klausul kontrak tersebut, Mahfud menilai tak bisa disalahkan karena China berhak atas kepentingan nasionalnya yang bisa menguntungkan negaranya.
Selain itu juga dibenarkan dalam aturan yang ada di General Agreement on Tariff and Trade serta World Trade Organization.
Di sisi lain, Mahfud menyatakan Indonesia bisa dianggap lalai jika isi kontrak tidak setara dan berbalik merugikan kepentingan nasional.
Baca Juga: Purbaya Jamin Tak Ada Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
“Bisa jadi pihak kita tidak becus memegang kebebasan setara dalam berkontrak dan abai terhadap kepentingan nasional sendiri, bahkan mungkin saja koruptif seperti yang diduga selama ini. Inilah perlunya penyelidikan atas kasus ini,” tegasnya.