Karena itu, warga berharap pemerintah desa, kecamatan, dan dinas terkait menutup TPS tersebut secara permanen, dengan alasan terlalu dekat dengan permukiman.
“Kami cuma ingin lingkungan kembali asri seperti dulu. Udara segar, tidak bau, tidak banyak lalat. Itu saja,” ujarnya.
Kendati demikian, Ketua RT Kampung Karang Jetak, Saekhi, membenarkan bahwa truk sampah kini sering masuk pada tengah malam untuk menghindari pantauan warga.
Baca Juga: Update Insiden Longsor di Cilacap: dari 47 Korban, 3 Meninggal Dunia
“Setelah ada penolakan, mereka datang diam-diam. Biasanya lewat jam dua malam,” katanya.
Menurut Saekhi, dampak TPS ini dirasakan hingga kampung lain seperti Ragas Pulau, Ragas Mesir, Bojong, hingga Onjong.
Masalah semakin parah saat musim hujan. Lalat masuk ke rumah warga dalam jumlah besar. Sementara pada musim kemarau, asap pembakaran sampah membuat warga sesak napas.
“Siang malam dibakar. Pembakaran juga menambah sesak napas warga, terutama yang punya riwayat asma,” kata Saekhi.
Ia menegaskan bahwa tidak pernah ada sosialisasi atau permintaan izin kepada warga sebelum TPS beroperasi. Warga juga tidak pernah menerima kompensasi.
Baca Juga: Mencari Bocah Hilang di Pesanggrahan Sejak Maret 2025, Ini Ciri-cirinya
“Kompensasi tidak ada. Izin juga tidak pernah diberikan. Tahu-tahu sampah numpuk,” ujarnya.
Meski warga sudah berulang kali menyampaikan keluhan, mereka menilai belum ada langkah tegas dari camat maupun dinas lingkungan hidup.
TPS disebut sebagai lokasi transit sementara, namun aktivitas pembuangan masih terus berjalan.
Beberapa warga bahkan sudah mengeluarkan biaya berobat akibat gangguan pernapasan.