GEMA LANTANG, JAMBI -- Salah satu paradoks paling mencolok dalam masyarakat modern adalah ketika kaum proletar, kelas pekerja yang hidup dari upah, justru tampil sebagai pembela paling militan kepentingan kapitalis.
Dalam banyak kasus, pembelaan ini tidak lahir dari kesadaran ideologis, melainkan dari motif ekonomi paling elementer, kebutuhan bertahan hidup sehari-hari. Upah, kontrak kerja, cicilan, dan ketakutan kehilangan penghasilan menjadi alasan utama mengapa kritik terhadap kapital sering dianggap ancaman personal, bukan perjuangan struktural.
Motif pertama yang paling kasat mata adalah kebutuhan ekonomi.
Ketika ruang kerja semakin sempit, lapangan pekerjaan terbatas, dan perlindungan negara melemah, kapitalisme hadir bukan sebagai sistem yang dipertanyakan, melainkan sebagai “pemberi nafkah”.
Baca Juga: Tidur di Dusun Lebih Pada Pencitraan dari Pada Solusi Membangun
Dalam situasi ini, kapitalis dipersepsikan bukan sebagai pemilik modal yang diuntungkan oleh ketimpangan, tetapi sebagai penyelamat yang menyediakan pekerjaan.
Relasi yang sejatinya eksploitatif lalu direduksi menjadi hubungan balas jasa, bekerja ditukar dengan upah, tanpa mempertanyakan nilai lebih yang diambil. Bahaya muncul ketika kebutuhan ekonomi ini berubah menjadi pembenaran moral.
Kaum proletar mulai membela kebijakan yang merugikan dirinya sendiri—upah murah, jam kerja panjang, pengabaian keselamatan kerja—dengan alasan “yang penting bisa makan”.
Baca Juga: Hadiri Acara Pengukuhan APRI, Fadhil Arief: Selamat Kepada Seluruh Pengurus
Rasionalitas kritis digantikan oleh rasionalitas bertahan hidup. Dalam kondisi ini, eksploitasi tidak lagi dipandang sebagai masalah struktural, melainkan sebagai keniscayaan hidup.
Motif kedua yang tak kalah berbahaya adalah jejaring bisnis.
Sebagian pekerja atau kelompok masyarakat mulai melihat kedekatan dengan pemilik modal sebagai peluang mobilitas sosial. Akses proyek, kontrak, atau “kepercayaan” menjadi insentif untuk menjaga loyalitas.
Kaum proletar tidak lagi sekadar pekerja, tetapi berubah menjadi perpanjangan tangan kapital: membela investasi, meredam protes, bahkan menyerang sesama pekerja yang kritis.