opini

Dr. Noviardi Ferzi: Kemandirian Fiskal, The Untold Story

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 01:00 WIB
Pengamat Kebijakan Publik dan Ekonomi, Dr. Noviardi Ferzi. (Ist)

Pandangan ini bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya. Dalam logika fiskal modern, uang publik yang mengendap di bank adalah bentuk inefisiensi ekonomi.

Dana daerah yang tidak segera dibelanjakan berarti kehilangan efek pengganda (multiplier effect) yang seharusnya menggerakkan ekonomi lokal.

Setiap rupiah yang menganggur di rekening pemerintah daerah adalah pembangunan yang tertunda, lapangan kerja yang tidak tercipta, dan pelayanan publik yang tertahan.

Baca Juga: ‎Wajah Gelap Tambang Jambi: Ketika Negara Kalah di Koto Boyo

Pemerintah daerah seharusnya memahami bahwa prinsip kehati-hatian (prudential management) bukan berarti membiarkan uang tidur di bank, melainkan memastikan bahwa setiap rupiah dibelanjakan tepat waktu, tepat sasaran, dan produktif.

Dalam ekonomi daerah, waktu adalah variabel fiskal yang kritis: belanja yang tertunda tiga bulan bisa berarti proyek tertunda setahun dan manfaat publik baru dirasakan dua tahun kemudian. Ketika uang publik berhenti berputar, ekonomi daerah ikut melambat.

Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa sebagian besar saldo kas daerah yang menumpuk di perbankan bukan disebabkan oleh surplus kinerja, melainkan oleh lemahnya perencanaan, penundaan proyek, dan ketakutan birokrasi terhadap risiko administratif.

Baca Juga: Tanpa Jalan dan Pelabuhan Khusus, Emas Hitam jadi Beban

Ini menciptakan apa yang disebut para ekonom fiskal sebagai “paradoks kehati-hatian” — di mana pemerintah daerah tampak disiplin di atas kertas, namun justru menahan pertumbuhan ekonomi riil di lapangan.

Padahal, uang publik bukan untuk disimpan, melainkan digerakkan. Ketika uang hanya berputar di antara pemerintah dan bank, bukan di antara pemerintah dan masyarakat, maka fungsi fiskal daerah telah kehilangan ruhnya.

Dalam konteks inilah, wacana bahwa penumpukan dana adalah tanda kedewasaan harus dikoreksi. Kedewasaan fiskal sejati bukan diukur dari berapa besar dana yang ditahan, tetapi seberapa efektif dana publik dikelola untuk menciptakan dampak ekonomi.

Baca Juga: Whoosh Terjebak Utang Jumbo, Danantara Siap Negosiasi ke China

Pemerintah daerah yang matang secara fiskal justru berani melakukan realokasi anggaran secara dinamis, mempercepat belanja produktif, dan menyesuaikan strategi fiskalnya dengan siklus ekonomi daerah. Dengan demikian, kehati-hatian tidak menjadi alasan stagnasi.

Klaim lain yang sering muncul adalah soal pentingnya data tunggal dan transparansi fiskal. Prinsip ini benar, tetapi realitasnya data fiskal daerah di Indonesia masih tumpang tindih antar lembaga.

 

Halaman:

Tags

Terkini

Penghambat Investasi, Modus Dukungan Menjadi Transaksi

Minggu, 21 Desember 2025 | 18:43 WIB

Ketika Kaum Proletar Membela Kapitalis

Sabtu, 20 Desember 2025 | 18:52 WIB

Kontribusi Batubara Bagi Pertumbuhan Ekonomi Jambi Kecil

Minggu, 14 Desember 2025 | 13:18 WIB

Eksistensi TUKS dan Regulasi Mengatur Tentang PNBP

Minggu, 14 Desember 2025 | 12:41 WIB

Golkar dan Tantangan Regenerasi Politik di Era Digital

Senin, 22 September 2025 | 15:25 WIB

Solidaritas yang Dikhianati, Kemarahan yang Meledak

Minggu, 31 Agustus 2025 | 15:32 WIB