GEMA LANTANG -- Partai Golongan Karya (Golkar) merupakan salah satu kekuatan politik utama dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Di tingkat nasional, partai ini telah memainkan peran penting dalam proses pembangunan dan penguatan sistem politik sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi.
Namun dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh perubahan nilai sosial, digitalisasi politik, dan transformasi demografis, tantangan eksistensial Golkar menjadi semakin nyata.
Tidak terkecuali di tingkat daerah, termasuk di Provinsi Jambi, sebuah wilayah yang saat ini sedang mengalami pergeseran struktur sosial, pertumbuhan kelas menengah baru, dan meningkatnya kesadaran politik generasi muda.
Baca Juga: Lebih Cepat dari Pemerintah, Kapolri Bentuk Tim Reformasi Polri
Kondisi tersebut menciptakan realitas baru, partai politik, termasuk Golkar, tidak bisa lagi mengandalkan narasi-narasi lama untuk menjaga relevansinya.
Di tengah menguatnya orientasi politik generasi milenial dan Gen Z terhadap isu-isu seperti lingkungan hidup, akses pendidikan, digitalisasi ekonomi, serta partisipasi politik yang transparan dan otonom, Golkar perlu melakukan pembaruan menyeluruh — baik secara ideologis, struktural, maupun strategis.
Dalam konteks Provinsi Jambi, tantangan regenerasi politik menjadi semakin relevan. Data BPS menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Jambi kini didominasi oleh kelompok usia produktif (15–39 tahun), yang merupakan bagian dari demografi pemilih masa kini dan masa depan.
Namun, keterlibatan mereka dalam struktur politik formal, baik sebagai aktor maupun sebagai konstituen aktif, masih sangat terbatas.
Baca Juga: Netanyahu Panik, 4 Negara Barat Resmi Akui Kedaulatan Palestina
Golkar sebagai salah satu partai politik senior di provinsi ini memiliki tanggung jawab historis sekaligus peluang strategis untuk menjembatani keterputusan tersebut.
Sayangnya, di berbagai wilayah kabupaten/kota di Jambi, partisipasi politik anak muda dalam struktur partai Golkar belum mengalami perkembangan yang signifikan.
Banyak organisasi sayap partai masih beroperasi secara seremonial, belum menjadi ruang artikulasi gagasan, apalagi inkubator kepemimpinan.