GEMA LANTANG, JAMBI -- Di tengah realitas sosial yang semakin timpang, rakyat tak hanya menanggung beban ekonomi dan krisis kesejahteraan, tetapi juga mengalami pengkhianatan yang paling menyakitkan: hilangnya solidaritas dari mereka yang seharusnya menjadi wakil dan pelindungnya.
Ketika para politisi dan pejabat publik asyik dalam kubu kekuasaan yang mewah dan penuh dominasi, yang tersisa bagi rakyat hanyalah keterasingan, penghinaan simbolik, dan rasa ditinggalkan.
Kemarahan rakyat hari ini bukanlah kebetulan, bukan sekadar gejolak emosional. Ia adalah akumulasi kekecewaan panjang akibat runtuhnya etika kekuasaan dan tergerusnya moralitas publik.
Baca Juga: PSI Bersama Mahasiswa: Dukung Gerakan Demokrasi, Tolak Anarkisme dan Vandalisme
Solidaritas yang seharusnya menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat justru dikhianati oleh gaya politik yang arogan, sinis, dan anti-kritik.
Solidaritas Menuju Superioritas
Solidaritas sosial adalah nilai dasar yang menyatukan kehidupan politik dalam demokrasi. Ia bukan sekadar retorika kampanye atau jargon ideologis, melainkan fondasi moral yang menuntut keberpihakan pada yang tertindas dan keterlibatan nyata dalam penderitaan rakyat.
Sayangnya, nilai ini kian asing dalam perilaku politik para elite hari ini.
Yang muncul justru dominasi dan kesenjangan yang semakin lebar. Para pejabat publik hidup dalam realitas sosial yang berbeda—berlimpah fasilitas, gaji besar, dan privilese yang menjulang.
Saat rakyat antri bantuan sosial, mereka sibuk memperdebatkan tunjangan baru. Ketika rakyat resah dengan harga beras, mereka mengeluarkan pernyataan meremehkan kritik.
Ini bukan hanya soal perbedaan kelas sosial, tapi ekspresi superioritas struktural yang secara langsung menyingkirkan rakyat dari ruang kepentingan.
Baca Juga: PAN Resmi Nonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR
Seperti dijelaskan Michel Foucault (1977), kekuasaan yang lepas dari kontrol etis cenderung membentuk struktur dominasi yang represif. Dan dominasi seperti inilah yang membuat politik kehilangan substansinya: melayani publik.
Etika yang Mati, Solidaritas yang Terkoyak
Emmanuel Levinas menegaskan bahwa etika adalah tanggung jawab tak terbatas terhadap yang lain—mereka yang rentan, diam, dan tak punya suara.