GEMA LANTANG, JAMBI -- Sungai Batanghari bukan hanya urat nadi sejarah dan peradaban di Jambi, tapi juga menjadi jalur vital bagi aktivitas logistik dan ekonomi regional.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan, yakni menjamurnya Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di sepanjang sungai ini.
Mirisnya, tidak hanya digunakan untuk keperluan internal perusahaan, tapi juga melayani kepentingan umum secara komersial.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, ke mana arah tata kelola pelabuhan kita?, dan yang lebih penting, siapa yang paling dirugikan?
Baca Juga: Sahabat Alam Jambi Buka Posko Pengaduan Petani Sawit, Usai Ada Disinformasi Soal PKH
TUKS yang Menyimpang dari Fungsi
Secara regulasi, fungsi TUKS sudah sangat jelas. Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan dan dikuatkan oleh Instruksi Dirjen Perhubungan Laut No. UM.008/81/18/DJPL, TUKS hanya diperuntukkan bagi kegiatan internal perusahaan, bukan untuk kegiatan pelayanan umum.
Jika melayani kepentingan umum, maka TUKS wajib beralih status melalui mekanisme konsesi sebagai pelabuhan umum yang dikelola oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP).
Namun realitasnya jauh berbeda. Banyak TUKS yang beroperasi layaknya pelabuhan umum, melayani berbagai pihak tanpa izin yang sah.
Baca Juga: Mensesneg Sebut Istana Terus Memantau Gejolak di Pati
Bahkan, menurut pengamat maritim Saut Gurning dari ITS Surabaya, praktik ini telah lama berlangsung di berbagai wilayah termasuk Banten, Banjarmasin, dan kini menjalar ke Sungai Batanghari.
Negara dan BUP yang Dirugikan
Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ada kerugian nyata yang harus ditanggung negara.
Badan Usaha Pelabuhan (BUP) yang memperoleh konsesi resmi wajib menyetor fee konsesi hingga 2,59% dari pendapatan bruto, sementara TUKS hanya membayar sewa perairan dan PNBP dalam jumlah yang jauh lebih kecil.
Persaingan pun menjadi tidak sehat. BUP yang patuh regulasi harus bersaing dengan TUKS yang secara ilegal melayani umum tanpa beban finansial dan pengawasan yang sama.