Dimana, banyak contoh mata di banyak daerah menunjukkan bahwa kenaikan harga tanah serta peluang kerja tidak selalu dirasakan merata.
Dr. Ferzi menyebut manfaat ekonomi sering terkonsentrasi pada segelintir pemilik modal dan elite lokal, sementara kerusakan lingkungan dibayar oleh masyarakat luas.
Baca Juga: Pelabuhan Peti Kemas Disorot, Pengamat Ingatkan Kawasan Cagar Budaya
"Justru karena proyek belum dibangun maka wajar apabila publik mulai menyampaikan kehati-hatian. Kritik pra-pembangunan bukan “agenda tertentu”, tetapi instrumen akuntabilitas." sebutnya.
Pengamat itu juga menjelaskan dalam sistem demokrasi dan investasi yang berkeadaban, ruang kritik dan keberatan masyarakat harus dihormati.
Hal ini bagian dari proses memastikan bahwa pembangunan, meskipun digerakkan investor, tetap tunduk pada norma tata kelola, keterbukaan, dan keadilan sosial.
"Pada titik ini, narasi tudingan 'ada agenda di balik penolakan' lebih berbahaya daripada kritik itu sendiri, karena berpotensi men-stigma masyarakat sebagai pihak berkepentingan" ujarnya.
"Padahal yang terpenting justru menjawab dulu seluruh keraguan publik secara transparan. Setelah itu, pertanyaan tentang siapa yang punya agenda menjadi tidak relevan." timpalnya.
Baca Juga: Mengintip Pembagian Anggaran Rp180 Miliar untuk Diskon Nataru dan Tarif Tol
Sebab, kata Dr. Ferzi, investasi tanpa dialog publik yang sehat diyakini tidak bisa menumbuhkan kepercayaan. Bahkan, sebaliknya akan menumbuhkan kecurigaan.
"Publik itu mengkritik, bukan beragenda." tegasnya.