GEMA LANTANG, JAMBI -- Investasi yang baik adalah investasi yang menghadirkan manfaat langsung bagi masyarakat, bukan sekadar menancapkan modal lalu meninggalkan persoalan.
Investasi yang sehat membuka lapangan kerja, menggerakkan ekonomi lokal, meningkatkan keterampilan tenaga kerja, serta mematuhi aturan lingkungan dan sosial.
Dalam kerangka ini, investasi harus menjadi alat kesejahteraan, bukan bencana sosial maupun ekologis.
Baca Juga: Danantara Indonesia dan BP BUMN Kerahkan 'Kekuatan' Tuk Tangani Bencana Sumatera
Namun dalam praktiknya, investasi sering terhambat bukan semata oleh regulasi atau birokrasi, melainkan oleh perilaku sebagian oknum yang mengatasnamakan masyarakat.
Hambatan ini kerap muncul dalam bentuk yang halus, bahkan terlihat “sah”, tetapi sesungguhnya bersifat transaksional dan merusak iklim usaha.
Contoh pertama dapat dilihat ketika sebuah investor hendak masuk ke suatu daerah dan sudah mengantongi izin resmi dari pemerintah.
Alih-alih disambut dengan dialog konstruktif, investor justru “diwajibkan” membiayai seminar, diskusi publik, atau kegiatan deklarasi dukungan.
Biaya ini tidak pernah tercantum dalam regulasi apa pun, tetapi diposisikan seolah-olah sebagai syarat sosial agar investasi bisa berjalan aman.
Jika tidak dipenuhi, ancamannya bukan selalu terang-terangan, melainkan berupa tekanan opini, penolakan, atau gangguan nonformal di lapangan.
Contoh kedua adalah praktik “dukungan berbayar”. Ada kelompok yang menyatakan diri mendukung investasi, tetapi dukungan itu bersyarat, spanduk harus dicetak oleh investor, konsumsi rapat harus ditanggung investor, bahkan honor kehadiran harus disediakan.
Baca Juga: D’Raja Law Firm, Mitra Hukum Terpercaya di Indonesia