GEMA LANTANG, JAKARTA -- Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau dikenal dengan nama Whoosh, kembali mencuat sebagai polemik besar dalam pembangunan nasional.
Di samping kebanggaan atas pencapaian kemajuan teknologi transportasi di Tanah Air, muncul pertanyaan tajam tentang siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas beban utang yang kini menghantui proyek Whoosh.
Sebelumnya, politisi Akbar Faizal menyoroti perhitungan ekonom Faisal Basri yang menilai masa balik modal proyek ini bisa mencapai lebih dari tiga dekade.
Dengan harga tiket yang terus mengalami penyesuaian, kereta cepat ini dinilai sulit memberi keuntungan nyata bagi negara.
“Katakanlah 33 tahun saja, itu sudah terlalu lama. Itu bukan lagi investasi,” ujar Akbar tegas dalam siniar YouTube Akbar Faizal Uncensored, pada Minggu, 19 Oktober 2025.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Tantang Daerah Tak Hanya Bergantung pada Komoditas
Terkait kasus ini, Akbar Faizal menyoroti adanya kontroversi soal sosok yang pertama kali mengubah arah proyek dari Jepang ke China.
Menjawab hal tersebut, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Agus Pambagio mengurai lapisan persoalan yang selama ini tersembunyi di balik proyek ambisius di era Presiden ke-7, Joko Widodo.
“Tentu orang nomor satu republik ini, Pak Jokowi. Karena waktu itu (2014–2015) beliau presiden,” ucap Pambagio dalam kesempatan yang sama.
Pambagio lantas menjelaskan bahwa Jepang telah menawarkan skema bunga pinjaman 0,1 persen dengan sistem antar pemerintah, tetapi Presiden Jokowi kala itu disebut memilih untuk melanjutkan proyek melalui Kementerian BUMN yang kemudian menggandeng investor China.
Baca Juga: 'Suara Rakyat, Suara Golkar', Bukti Nyata Pengabdian Golkar Jambi di HUT ke 61
Skema Jepang vs China
Pambagio mengungkap, peralihan tersebut bermula ketika Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan menolak tawaran Jepang karena menilai proyek kereta cepat belum menjadi prioritas nasional.
Kendati demikian, keputusan itu justru membuka jalan bagi investor China untuk masuk.