GEMA LANTANG -- Di tengah gencarnya kampanye transisi energi bersih, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) masih sulit melepaskan diri dari ketergantungan pada batu bara.
Perusahaan pelat merah ini menargetkan net zero emission 2060 dan mengklaim berhasil menekan emisi karbon hingga 305 ribu ton CO₂e pada 2024 melalui efisiensi energi dan reklamasi lahan bekas tambang.
PTBA juga menyiapkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Ombilin dan Tanjung Enim berkapasitas 100-200 MWp.
Baca Juga: Janji Hijau PLN: Berlari di Dokumen, Tertatih di Realita
Namun, laporan think tank energi bersih Ember pada 2024 menunjukkan kenyataan berbeda.
"Emisi metana dari tambang batu bara Indonesia bisa mencapai delapan kali lipat lebih tinggi dibanding laporan resmi," tulis Ember dalam analisisnya, dikutip pada Kamis, 25 September 2025.
Metana merupakan gas rumah kaca yang dampaknya 80 kali lebih kuat dibanding CO₂ dalam jangka pendek, dan hingga kini belum masuk hitungan resmi emisi perusahaan.
Baca Juga: Pengamat Sebut Istilah ‘BBM Oplosan’ Picu Masyarakat Pindah SPBU Swasta
Sejumlah catatan menunjukkan klaim hijau PTBA belum sebanding dengan kenyataan.
Tempo.co menulis, porsi terbesar emisi PTBA justru berasal dari Scope 3, yakni emisi dari pemakaian batu bara oleh pelanggan.
Emisi jenis ini terus naik sejak 2021, meski sempat turun sedikit pada 2023. Artinya, bisnis utama PTBA masih meninggalkan jejak karbon raksasa di luar kendali langsung perusahaan.
Baca Juga: Pengamat Sebut Istilah ‘BBM Oplosan’ Picu Masyarakat Pindah SPBU Swasta
Dampak sosial pun nyata. Studi yang dipublikasikan di Aerosol and Air Quality Research tahun 2024 menemukan prevalensi penyakit paru hitam (black lung disease) di kalangan penambang batu bara Indonesia mencapai 13,88 persen.