"World Bank menggunakan konsep purchasing power parity. Jadi, ukuran kemiskinan dibuat seragam agar bisa dibandingkan dengan negara lain," jelasnya.
Dengan standar internasional itu, angka kemiskinan di Indonesia terlihat jauh lebih tinggi. Ferry menilai hal ini penting agar masyarakat tidak salah kaprah ketika membandingkan data nasional dengan global.
Baca Juga: Pelaku UMKM 'Bahagia' usai Pemkot Jambi Luncurkan Pinjaman Kredit
"Kalau kita tetap ngotot pakai data BPS, maka seolah-olah kita selalu jadi pemenang. Padahal kriteria BPS berbeda dengan Bank Dunia," terangnya.
Selain soal metode, Ferry juga menyoroti perbedaan kondisi geografis dan sosial antara desa dan kota di Indonesia.
Pengamat ekonomi itu menyebut, di pedesaan, warga RI mungkin bisa bertahan hidup dengan Rp20.000 per hari, sementara di perkotaan angka tersebut jelas tidak mencukupi.
Baca Juga: Ketua DPR Desak Pemerintah Segera Tangani Banjir Bali
"Tentu konsumsi di desa berbeda dengan di Jakarta. Karena mayoritas penduduk masih ada di desa, sementara urbanisasi dan industrialisasi kita belum berhasil, maka hasil pengukuran ini jadi timpang," kata Ferry.
Ia mencontohkan keberhasilan China dalam mendorong urbanisasi dan industrialisasi, yang membuat pengukuran kemiskinan di negara itu lebih sesuai dengan standar internasional.
Hal tersebut, menurut Ferry, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Lukman Hakim Sebut Prabowo Setujui Pembentukan Tim Investigasi
"Dan tentu, konsumsi di desa kan berbeda dengan yang di Jakarta. Tapi karena mayoritas penduduk kita masih ada di pedesaan, kita tidak berhasil melakukan urbanisasi, industrialisasi, hasilnya seperti ini," tutur Ferry.
"Beda dengan China, di sana urbanisasi luar biasa. Industrialisasinya juga berhasil," tukasnya.