GEMA LANTANG, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memberi peringatan keras soal potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sektor tekstil.
Diperkirakan hingga 40 ribu pekerja terancam kehilangan pekerjaan jika usulan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 45 persen terhadap bahan baku asal China benar-benar diterapkan.
Sebelumnya, usulan kebijakan tersebut pertama kali muncul dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Mereka mengajukan pengenaan BMAD tinggi untuk benang filamen tertentu yang digunakan sebagai bahan baku industri tekstil.
Baca Juga: Menlu Belanda Mundur Gegara Gagal Amankan Sanksi Terhadap Israel
Terkini, Juru Bicara (Jubir) Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menegaskan kebijakan itu bisa memukul keras industri hilir tekstil. Padahal, sektor ini saat ini menyerap puluhan ribu tenaga kerja di dalam negeri.
“Ini akan menjadi tragedi nasional. Sedangkan potensi PHK di sektor hulu yang jauh lebih kecil masih bisa dimitigasi melalui optimalisasi serapan lokal,” kata Febri dikutip dari keterangan resmi Kemenperin, pada Minggu, 24 Agustus 2025.
Menurut Febri, kebijakan impor maupun perlindungan tarif seharusnya berdasar pada prinsip keadilan bagi industri hulu, intermediate, maupun hilir. Ia menekankan keseimbangan menjadi kunci agar semua sektor tetap bisa bertahan.
Baca Juga: Warga Merangin Ngeluh ke Prabowo soal Air Sungai Keruh Akibat PETI
Jubir Kemenperin menambahkan, industri hilir yang berorientasi ekspor sudah mendapat berbagai fasilitas agar kompetitif di pasar global. Sementara untuk pasar domestik, pemerintah mendorong agar lebih banyak menggunakan produk substitusi impor.
Kendati demikian, Kemenperin menyoroti persoalan internal di tubuh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI).
Dari 20 anggota asosiasi, hanya 15 perusahaan yang melaporkan aktivitas industrinya melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), sedangkan lima lainnya tidak melapor.
Baca Juga: Warga RI Ramai Tinggalkan Facebook demi Eksis di TikTok
Perihal itu, Febri menyebut adanya kontradiksi pada sebagian anggota APSyFI. Beberapa perusahaan justru tercatat meningkatkan impor hingga 239 persen dalam setahun, dari 14,07 juta kilogram pada 2024 menjadi 47,88 juta kilogram pada 2025.
Artikel Terkait
Malaysia Dukung RI Perjuangkan Sistem Royalti Internasional
Menlu Belanda Mundur Gegara Gagal Amankan Sanksi Terhadap Israel
OJK Pangkas Target Pertumbuhan Kredit Tuk Jaga Stabilitas Keuangan
Emine Erdogan Minta Melania Trump Tekan Netanyahu soal Gaza
Mengenal Sosok Visioner di Balik Kesuksesan Google dan YouTube
Bank Indonesia Catat Uang Beredar pada Juli 2025 Tumbuh 6,5 Persen
Indonesia dan Bangladesh Perkuat Kemitraan Energi, Batubara Mendominasi
Nafa Urbach Minta Maaf Usai Pernyataannya soal Tunjangan Rumah DPR
Warga Merangin Ngeluh ke Prabowo soal Air Sungai Keruh Akibat PETI
Warga RI Ramai Tinggalkan Facebook demi Eksis di TikTok