GEMA LANTANG, JAMBI -- Persoalan keberlanjutan izin PT Wira Karya Sakti (WKS) tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.
Perdebatan apakah aktivitas perusahaan kehutanan tersebut merusak lingkungan memang tidak bisa dijawab secara mutlak. Namun, ketika indikasi dampak ekologis dan sosial terus muncul di berbagai wilayah Jambi, pemerintah daerah tidak boleh bersikap pasif.
PT WKS secara administratif adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI). Akan tetapi, izin bukanlah pembenaran atas kerusakan lingkungan.
Legalitas usaha harus berjalan seiring dengan perlindungan lingkungan hidup dan pemenuhan hak masyarakat Jambi atas ruang hidup yang aman dan sehat.
Baca Juga: Prioritaskan Ibu, Bocah Korban Banjir Aceh Ini Bikin Haru
Hak masyarakat Jambi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan ini menegaskan bahwa negara termasuk pemerintah daerah wajib melindungi warganya dari dampak kerusakan lingkungan seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan, serta rusaknya sumber air dan lahan pertanian.
Selain itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam konteks Jambi, makna “dikuasai oleh negara” tidak cukup dimaknai sebagai pemberian izin usaha, tetapi mencakup pengawasan aktif dan keberanian mengambil tindakan tegas jika pengelolaan hutan justru menimbulkan kerugian bagi masyarakat lokal.
Baca Juga: Masalah Sampah di Tangsel Kian Mengkhawatirkan, Kinerja Pemerintah Disorot
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan peran strategis kepada pemerintah daerah.
Pemerintah Provinsi Jambi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, penegakan hukum administratif, serta merekomendasikan penghentian atau pencabutan izin apabila ditemukan pelanggaran AMDAL, RKL–RPL, atau terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Lebih jauh, prinsip strict liability dalam Pasal 88 UU PPLH menegaskan bahwa perusahaan tetap bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan khususnya kebakaran hutan dan lahan tanpa perlu dibuktikan unsur kesalahan.