GEMA LANTANG, JAMBI – Keberhasilan Provinsi Jambi meraih Anugerah Kebudayaan Indonesia 2025 menjadi momentum penting bagi daerah yang kaya akan tradisi, sejarah, dan kearifan lokal.
Dalam pidatonya, Gubernur Al Haris menegaskan bahwa kebudayaan akan menjadi poros pembangunan daerah, menggambarkan keyakinan bahwa nilai-nilai luhur masyarakat Jambi dapat menjadi panduan arah pembangunan di tengah arus modernisasi.
Namun, di balik semangat tersebut, muncul pertanyaan mendasar: benarkah masyarakat yang berbudaya otomatis terbebas dari kebohongan dan korupsi?
Kebudayaan memang sarat dengan nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab sosial.
Baca Juga: Kejagung Didesak Bongkar Skandal Batubara Koto Boyo
Di bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, adat telah lama menjadi panduan hidup dengan falsafah adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah.
Namun dalam kenyataan sosial, nilai luhur itu seringkali hanya berhenti di tataran simbolik. Tidak sedikit komunitas yang menjunjung tinggi adat istiadat, tetapi masih terjebak dalam praktik manipulasi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang.
Ini menunjukkan bahwa kebudayaan, meskipun penting sebagai fondasi moral, tidak otomatis menjamin perilaku bersih dan bebas korupsi.
Korupsi dan kebohongan sering kali lahir dari sistem yang lemah dan birokrasi yang tertutup. Persoalan ini lebih bersifat struktural ketimbang moral semata.
Dalam konteks pembangunan daerah, menjadikan kebudayaan sebagai poros pembangunan tanpa memperkuat tata kelola dan transparansi justru berisiko menjadikan kebudayaan sekadar retorika politik.
Baca Juga: BGN Curhat Tutup Ratusan Dapur SPPG, Chef Profesional Serukan Contoh Jepang
Nilai-nilai budaya harus hadir dalam sistem — dalam pengelolaan anggaran yang terbuka, pengawasan publik yang kuat, dan keberanian menindak pelanggaran tanpa pandang bulu.
Di sisi lain, kebudayaan kerap dipolitisasi. Ia bisa menjadi alat legitimasi atau proyek pencitraan bagi kekuasaan.