Hal ini berarti pelaku industri masih menghadapi kewajiban tambahan dalam menjalankan bisnisnya.
Selain itu, terdapat kenaikan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi kripto. Bila sebelumnya tarif ditetapkan sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi melalui PMK No. 68/2022, kini naik menjadi 0,21 persen sesuai aturan baru PMK No. 50/2025.
Baca Juga: OJK Klaim Kerugian Akibat Keuangan Ilegal Capai Rp120 Triliun
Kenaikan tarif tersebut menuai sorotan dari pelaku industri. Mereka khawatir, tarif lebih tinggi justru akan mengurangi aktivitas perdagangan kripto dan mendorong sebagian pengguna untuk mencari alternatif lain, termasuk platform luar negeri yang menawarkan pajak lebih rendah.
Yudhono menilai, Indonesia perlu mengambil pelajaran dari negara lain yang berhasil mendorong adopsi kripto lewat regulasi yang lebih ramah.
Menurutnya, bila pajak bisa lebih proporsional, pertumbuhan industri ini berpotensi mendongkrak ekonomi digital dan membuka peluang kerja baru.
Baca Juga: Utusan Putin: Pemimpin Eropa Coba Ganggu Perundingan Damai
“Kalau regulasi dan pajak seimbang, ekosistem kripto di Indonesia bisa berkembang pesat dan memberi kontribusi nyata terhadap perekonomian,” tukasnya.