"Literatur kebijakan pangan Indonesia menunjukkan bahwa fragmentasi kewenangan merupakan akar lemahnya respons daerah terhadap krisis pangan (Arianto & Fitriani, 2022)." kata Noviardi Ferzi.
Kemudian, ia juga mengungkapkan contoh lain yang dinilai konkret adalah lemahnya pengawasan keamanan pangan segar.
Ia mengatakan bahwa beberapa kali ditemukan produk hortikultura dari luar daerah masuk ke Jambi tanpa standar keamanan yang jelas.
"Uji kandungan pestisida dilakukan secara terbatas karena laboratorium daerah belum berfungsi optimal sepanjang tahun." ungkapnya.
Baca Juga: Roy Suryo Bocorkan Isi Buku Gibran's Black Paper
Padahal, Badan Pangan Nasional (Bapanas) sejak 2022 telah memberikan pedoman penguatan food safety surveillance yang seharusnya diadopsi oleh provinsi.
"Ketiadaan pengawasan yang kuat ini membuka ruang meningkatnya risiko kesehatan masyarakat sebagaimana diperingatkan oleh penelitian Kaharuddin et al. (2021)" sebutnya.
"Akhirnya, problem ketahanan pangan di Jambi bukan semata karena faktor eksternal seperti cuaca atau harga nasional, tetapi lebih kepada lemahnya governance di tingkat provinsi—mulai dari perencanaan, koordinasi, hingga pengawasan." timpalnya.
Menurutnya, Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jambi harus memperkuat data, inovasi cadangan pangan, pemetaan kerentanan, serta integrasi dengan OPD lain.
Baca Juga: Momen Gibran di Johannesburg, Ngaku Pertama Kali ke Afrika Selatan
Jika tidak, lanjut Ferzi, maka Jambi berpotensi mengalami stagnasi dalam indeks ketahanan pangan, sebagaimana terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
"Reformasi kelembagaan dan peningkatan kapasitas teknis menjadi kebutuhan mendesak agar ketahanan pangan tidak hanya menjadi jargon, tetapi benar-benar menjadi perlindungan nyata bagi masyarakat." pungkasnya.