GEMA LANTANG, JAMBI — Di balik hamparan tanah hitam dan lalu-lalang truk pengangkut batubara, tersimpan kisah gelap tentang kekuasaan, uang, dan hukum yang kehilangan taringnya.
Di Koto Boyo, Batanghari, Jambi aktivitas tambang batubara yang semestinya menjadi motor ekonomi daerah justru menjelma menjadi simbol kerakusan.
Dugaan adanya kekuatan mafia batubara yang beroperasi dengan rapi, menuai sorotan tajam dari pengamatan kebijakan publik dan ekonomi, Dr. Noviardi Ferzi.
Mafia batubara di Kota Boyo diklaim menumpuk keuntungan dari sumber daya yang seharusnya milik rakyat, sementara negara hanya mendapat debu dan kerusakan.
Baca Juga: Wajah Gelap Tambang Jambi: Ketika Negara Kalah di Koto Boyo
"Data yang terungkap menunjukkan betapa dalamnya lubang hitam ini. Sedikitnya sembilan perusahaan tambang diketahui beroperasi di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Sawit Desa Makmur (SDM), seluas lebih dari 14 ribu hektar." kata Ekonom itu dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Oktober 2025.
Noviardi juga menyebut beberapa nama perusahaan di antaranya yakni PT Bumi Bara Bangun Mandiri (BBMM), PT Tambang Bukit Tambi (TBT), PT Bumi Makmur Sejati (BMS), dan PT Batu Hitam Sukses (BHS).
Perusahaan itu diduga beroperasi dengan izin yang kabur, bahkan menambang di luar wilayah izin usaha pertambangan (IUP).
"Di lapangan, lubang-lubang tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi, menciptakan ancaman ekologis dan sosial yang nyata." ungkapnya.
Baca Juga: Prabowo: Terus Kejar Koruptor, Jangan Takut, Jangan Malas!
Ia juga mengungkapkan berdasarkan hasil dari investigasi lapangan yang dilakukan oleh sejumlah media dan lembaga lingkungan memperlihatkan bukti mencolok.
Dimana, lubang tambang seluas 3,2 hektar dengan kedalaman hingga empat meter ditemukan di wilayah Koto Boyo, tergenang air dan tanpa tanda-tanda pemulihan lingkungan.
"Jalan desa rusak berat akibat truk-truk batubara yang melintas tanpa henti, sementara sungai yang dulu menjadi sumber air warga kini keruh bercampur lumpur." kata Noviardi.