GEMA LANTANG -- Di balik cahaya terang yang menyinari ruang-ruang kota dan pedesaan, terdapat cerita yang relatif gelap: catatan kurangnya keterbukaan dan sejumlah kasus korupsi yang melekat pada PT PLN (Persero).
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laman resminya, antikorupsi.org, seperti dikutip pada 26 September 2025, menyebut ada minimal 21 kasus korupsi yang membelit BUMN kelistrikan ini antara 2000-2010-an, sebagian besar terkait pengadaan barang dan jasa.
Lebih dari itu, proses pengadaan di PLN juga kerap minim transparansi. ICW pernah mengaku kesulitan mendapatkan data seputar pasokan batubara, supplier, alamat PLTU, hingga biaya kontrak proyek pembangkit.
Baca Juga: Oversupply Listrik: Lampu Nyala, Duit PLN yang Padam
Bahkan ketika ICW meminta informasi tersebut secara resmi, PLN tidak memenuhi permintaan sesuai harapan publik.
"PLN tidak transparan dalam mengumumkan data pembangkit listrik," kata peneliti ICW Egi Primayogha dalam laporannya yang diterbitkan pada 28 Juli 2020.
Dampak kurang terbukanya data tersebut bukan sekadar soal informasi. Ini menutup peluang publik dan media melakukan pengawasan independen.
Baca Juga: PLTU dan Tagihan Sunyi Kesehatan Publik: Ribuan Kematian Dini dan Triliunan Rupiah Melayang
Padahal, keterbukaan kontrak, penawaran, dan nama penyedia adalah fondasi Good Corporate Governance (GCG) adalah realitas yang saat ini masih sebatas wacana di PLN, menurut catatan ICW.
Melibatkan Proyek Besar
Laporan Monitor Indonesia, masalah korupsi di tubuh PLN bahkan melibatkan proyek besar seperti PLTU Riau-1. Kasus tersebut menjadi sorotan KPK dan menyeret sejumlah nama penting, termasuk mantan petinggi PLN dan politisi.
ICW juga menyoroti gravitasi oligarki politik dan ekonomi yang berkaitan erat dengan bisnis batubara, yang menjadi sumber bahan bakar utama sejumlah PLTU.
Baca Juga: Janji Hijau PLN: Berlari di Dokumen, Tertatih di Realita
"Sudah menjadi rahasia umum oligarki politik dan ekonomi bersatu dalam kepentingan PLTU," kata peneliti ICW, seperti dilaporkan Law-Justice, 15 Maret 2025, ketika menyoroti rapuhnya pengawasan internal dan nilai pengadaan sebagai potensi kerugian publik.
Lalu, bagaimana dengan pengawasan resmi?