GEMA LANTANG, JAMBI -- Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi dibawah kepemimpinan Wali Kota Dr. dr. Maulana sedang berbangga hati mensosialisasikan program unggulan Jaringan Gas Bumi (Jargas) sebanyak 13.290 Sambungan Rumah (SR), menuai komentar tajam dari akademisi dan pengamat.
Bantuan dari Pemerintah Pusat ini diprioritaskan untuk dua kawasan padat di Kecamatan Alam Barajo dan Kecamatan Kota Baru. Hadirnya program ini diklaim sebagai upaya Pemerintahan Maulana untuk mewujudkan ketahanan energi rumah tangga bagi warganya.
Dr. Noviardi Ferzi mengatakan sejumlah catatan kritis perlu disampaikan agar publik tidak terjebak pada euforia program Jaringan Gas Bumi (Jargas) yang dipromosikan oleh Pemerintah Kota Jambi, yang diklaim sebagai terobosan besar menuju ketahanan energi rumah tangga.
Baca Juga: Aktivis Ingatkan Tata Ruang Tidak Wajib Tunduk pada TUKS PT SAS
"Kehadiran 13.290 Sambungan Rumah (SR) yang diklaim sebagai lompatan besar justru berpotensi menimbulkan persoalan baru jika tidak dibarengi dengan kesiapan teknis, tata kelola, dan kapasitas layanan yang memadai di tingkat daerah." kata Dr. Ferzi, Rabu, 3 Desember 2025.
Pengamat kebijakan publik ini menjelaskan bahwa program Jargas tersebut merupakan proyek Pemerintah Pusat yang bersifat top–down dan peran daerah hanya bersifat fasilitatif. Artinya, tanpa kontribusi pendanaan dan kendali teknis yang signifikan dari pemerintah daerah, keberhasilan program ini sangat tergantung pada eksekusi kementerian dan kontraktor pelaksana.
Dr. Noviardi Ferzi juga menilai penunjukan lokasi penerima SR sering kali menimbulkan ketimpangan baru, sebab banyak permukiman padat lain di Kota Jambi yang justru tidak masuk prioritas meskipun kebutuhan energinya lebih mendesak.
"Penyempitan wilayah hanya pada dua kecamatan berpotensi memicu kecemburuan dan kesan program tidak berpijak pada pemetaan kebutuhan yang transparan." ujarnya.
Baca Juga: Pengamat Apresiasi Tirta Mayang Dalam Menjawab Tantangan Dilapangan
Kemudian Ferzi juga menyinggung soal keandalan infrastruktur dan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) di lapangan yang masih kerap menjadi persoalan, tanpa edukasi berkelanjutan program ini diklaimnya akan menjadi sumber risiko.
"Ketua RT, lurah, dan camat mungkin diundang hadir dalam sosialisasi, namun keterlibatan mereka sebatas administratif. Faktanya, pemahaman teknis warga terhadap risiko kebocoran, prosedur penanganan darurat, hingga mekanisme komplain masih jauh dari memadai. Tanpa edukasi berkelanjutan dan sistem respons cepat, Jargas dapat berubah menjadi sumber risiko baru, bukan solusi." katanya.
Ia beranggapan bahwa ketahanan energi tidak cukup hanya dengan membangun jaringan, justru hal ini akan menimbulkan beberapa pertanyaan krusial terutama soal pasokan gas jangka panjang, tarif hingga mekanisme perlindungan konsumen.
"Sampai saat ini belum ada penjelasan rinci mengenai skema operasi pasca-pembangunan, sehingga klaim tercapainya kesejahteraan energi terasa prematur." imbuhnya.