Secara terpisah, Ahmad menyebut, penyidik membuka kemungkinan dua skema tersebut.
Baca Juga: Banjir Sumatera: Mentan Amran Pastikan Stok Pangan Aman
“Kami diminta memilih. Bisa gelar perkara khusus dulu, atau keterangan saksi dan ahli meringankan dulu,” kata Ahmad kepada awak media di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, pada Kamis, 27 November 2025.
Kendati demikian, Ahmad menegaskan, kliennya memilih jalur gelar perkara khusus lebih dulu karena dinilai dapat mempercepat proses penyidikan.
Ia menilai forum itu akan membuka ruang klarifikasi yang selama ini belum terlihat publik, termasuk dokumen yang diklaim belum pernah diperlihatkan.
Terkait hal itu, Ahmad menggunakan istilah 'kotak pandora' untuk menggambarkan betapa krusialnya gelar perkara khusus guna menentukan ada atau tidaknya unsur pidana dalam tudingan tersebut.
“Kami melihat ini bisa memangkas waktu. Kalau bisa dibuka lebih cepat di gelar perkara, kenapa harus bertaruh pada proses pengadilan yang panjang, melelahkan, dan berlarut-larut?” ujar Ahmad.
Perihal itu, Ahmad lantas menegaskan, pembahasan di gelar perkara disebutnya lebih relevan untuk menyusun kerangka pembuktian yang adil bagi tersangka dan penentuan status pidananya.
Baca Juga: Ira Puspadewi Tak Kunjung Tinggalkan Rutan KPK
2 Klaster Tersangka
Sebagai catatan, total 8 nama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat tergabung dalam dua klaster perbuatan dalam kasus dugaan tudingan ijazah palsu milik Jokowi.
Klaster pertama, yang memuat Milan status Pasal 160 KUHP, mencakup lima tokoh, yakni Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis.
Mereka diduga bertanggung jawab atas penyebaran hasutan kekerasan terhadap penguasa umum di ruang digital maupun pernyataan publik.
Adapun, klaster kedua yang berisi tiga figur, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma, yang dikenai sangkaan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 35 Undang-Undang UU ITE.
Pasal tersebut mengatur dugaan manipulasi, penghilangan, atau penyamaran dokumen elektronik di ruang maya yang dinilai aparat sebagai tindakan memanipulasi bukti digital.