GEMA LANTANG — Industri tambang di Maluku Utara menjadi sorotan setelah laporan terbaru Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap persoalan serius dalam tata kelola sektor nikel di Halmahera.
Mulai dari tumpang tindih izin, perubahan tapal batas, konflik antar-korporasi, hingga kriminalisasi warga, seluruh temuan itu memperlihatkan betapa semrawutnya pengawasan negara dalam industri yang menjadi penopang ekonomi provinsi tersebut.
Laporan bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera” yang terbit pada November 2025, memberikan gambaran rinci bagaimana konsesi tambang nikel meluas secara agresif dalam dua dekade terakhir, sering kali mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
Hutan Hilang, Sungai Rusak, Warga Terdesak
Dalam laporan yang dikutip Kilat.com, Jumat 21 November 2025, JATAM mencatat hilangnya hutan, sungai-sungai yang berubah keruh, serta rusaknya kebun sagu dan pala yang selama ini menjadi sumber pangan warga.
Baca Juga: Pertumbuhan Kredit UMKM pada Oktober 2025 Justru Melemah
"Sungai Sangaji disebut tercemar lumpur merah dari aktivitas tambang, memperlihatkan kerusakan ekologis yang terus meluas," tulis laporan itu.
Di tengah penolakan warga, kriminalisasi disebut terjadi. Sebanyak 27 warga Maba Sangaji ditangkap saat aksi damai menolak ekspansi perusahaan tambang, dan 11 orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
JATAM menyatakan ada intimidasi serta pemaksaan penandatanganan dokumen terhadap warga.
Izin Bertabrakan
Selain dampak lingkungan, JATAM menyoroti adanya pola tumpang tindih izin tambang antara beberapa perusahaan besar.
Temuan laporan menyebut adanya dugaan serius manipulasi batas administratif untuk keuntungan perusahaan tertentu.
Baca Juga: Mahfud MD Ungkap Tekanan Prabowo ke Kapolri dan Panglima TNI
Contoh paling menonjol adalah konflik antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM). Kedua perusahaan ini saling mengklaim wilayah operasi, saling lapor, hingga memasang police line.