"Dan kita harus akui, hilangnya momentum komoditas besar sudah ada di depan mata." timpal Ferzi.
Sedangkan, menurut Lardic & Mignon (2024) di Energy Economics menempatkan batubara di kategori twilight investment. Ferzi menjelaskan bahwa ini bukan karena pasar tiba-tiba benci batubara, tetapi karena restruktur energi global pasca COP29 bergerak irreversible.
Baca Juga: Dokter Tifa dan Roy Suryo Kompak Akui Hormat pada Proses Hukum
"Jika strategi Jambi masih bergantung pada narasi 'harga akan pulih', kita secara sadar menolak logika transisi global. Maka diversifikasi bukan jargon, ia urgensi dasar untuk bertahan." bebernya.
"Green manufacturing, agroprocessing berbasis biomas lokal, biofertilizer, biomaterial, dan logistik modern harus menjadi rute struktural." imbuhnya.
Akan tetapi, dijelaskan Ferzi, rute ini hanya mungkin jika tata kelola dibuat clean and bankable. Investor global tidak kekurangan uang, namun yang kurang adalah alasan untuk percaya.
Karena itu, ia melihat proyeksi pertumbuhan 4,8 hingga 5,2 persen pada tahun depan harus diuji serius. Dimana, proyeksi tanpa stress test risiko hanya menipu pembuat kebijakan.
Baca Juga: Kritik Pedas Mahfud MD Sebut Polri di Titik Terendah
"Kita tidak butuh narasi, kita butuh diagnosis jujur. Kesimpulannya sederhana, mesin pertumbuhan Jambi melemah bukan di konsumsi, bukan di ekspor, tetapi di investasi." katanya.
"Dan ketika pemerintah masih nyaman menghibur diri dengan angka pertumbuhan headline, kita sedang meluncur menuju 2027 dengan mesin yang sudah mati perlahan." ujarnya.
Ia beranggapan bahwa tanpa pemulihan PMTB, pertumbuhan Jambi bukan hanya rapuh, melainkan empty growth yaitu angka naik, kapasitas turun.
"Itu resep stagnasi yang sudah terprediksi oleh literatur." pungkasnya.