Hal ini mendorong praktik 'bangun dulu, atur kemudian', di mana setiap pelanggaran dapat dilunakkan dengan perubahan kebijakan.
Padahal, kata Syaiful, RTRW disusun melalui kajian multi-dimensi yang melibatkan aspek lingkungan, sosial, kesehatan publik, akses infrastruktur, serta keberlanjutan ruang hidup.
"Mengubah RTRW hanya untuk mengakomodasi satu kepentingan komersial tidak hanya merusak konsistensi perencanaan kota, tetapi juga mengabaikan potensi dampak debu batubara, polusi, gangguan lingkungan, dan penurunan kualitas hidup masyarakat sekitar." katanya.
Karena itu, ia beranggapan argumen revisi RTRW adalah solusi terbaik sesungguhnya tidak berdiri di atas fondasi hukum tata ruang.
"Yang layak didorong bukan revisi tata ruang demi menyamakan aturan dengan pelanggaran, tetapi konsistensi pemerintah dalam menegakkan norma perencanaan ruang yang telah disepakati." sebutnya.
Baca Juga: Ira Puspadewi Tak Kunjung Tinggalkan Rutan KPK
Menurutnya, bila terdapat kegiatan yang tidak sesuai zonasi, instrumen hukum memungkinkan penertiban, pembatasan, hingga penghentian aktivitas.
"Tata ruang tidak ditulis untuk mengakomodasi pelanggaran, melainkan melindungi ruang hidup warga dari praktik ekonomi yang tidak kompatibel dengan rencana pembangunan jangka panjang." ujarnya.
Dengan demikian, ia melihat desakan revisi RTRW yang dikaitkan dengan eksistensi stockpile PT SAS justru memperkuat kesimpulan bahwa aktivitas perusahaan tersebut telah keluar dari ketentuan ruang yang sah.
"Revisi bukan bukti pembenaran, tetapi pengakuan tidak langsung bahwa pelanggaran memang terjadi." anggapnya.
Baca Juga: Update Kasus Dugaan Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
"Yang diperlukan bukan menyesuaikan aturan pada pelanggar, melainkan menegaskan kembali bahwa tata ruang adalah kompas pembangunan, bukan sekadar formalitas yang bisa ditekuk oleh kepentingan tertentu." sambungnya.