GEMA LANTANG, JAMBI -- Isu yang menyebut kegiatan Dapur MBG di kawasan perumahan subsidi sebagai “ladang bisnis” dan ajang mencari keuntungan lewat makan gratis dinilai tidak berdasar.
Pengamat ekonomi dan sosial, Dr. Noviardi Ferzi, menilai tudingan tersebut terlalu berlebihan dan cenderung menyesatkan persepsi publik terhadap kegiatan sosial masyarakat.
Menurut Noviardi, dapur sosial semacam MBG justru lahir dari semangat kebersamaan dan gotong royong warga.
Baca Juga: Umrah Mandiri Jadi Babak Baru Ibadah Warga RI di Tanah Suci
“Dapur ini bersifat sukarela, dikelola oleh masyarakat dan relawan yang ingin berbagi pangan bagi sesama. Tidak ada mekanisme jual beli, tidak ada pungutan, apalagi keuntungan finansial. Yang ada adalah bentuk kepedulian sosial,” ujarnya di Jambi.
Ia menjelaskan, menyebut kegiatan sosial di kawasan perumahan subsidi sebagai bisnis menunjukkan cara pandang yang keliru. Lokasi kegiatan tidak bisa dijadikan dasar menilai niat di baliknya.
“Justru, memilih kawasan padat dan berpenghuni menengah ke bawah adalah langkah tepat agar manfaat sosial dirasakan langsung oleh warga yang membutuhkan,” jelasnya, Senin, 27 Oktober 2025.
Baca Juga: Gestur Diplomasi Prabowo Jadi Sorotan di KTT ASEAN
Noviardi juga menilai logika bahwa kegiatan makan gratis bisa menjadi ladang mencari keuntungan sulit diterima akal sehat.
“Berbagi makanan itu simbol solidaritas sosial. Kalau semua bentuk kepedulian dicurigai sebagai cara cari cuan, maka budaya gotong royong yang menjadi identitas bangsa bisa hilang,” tegasnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan agar kritik terhadap kegiatan sosial dilakukan secara proporsional dan berbasis data.
“Kalau memang ada yang perlu ditinjau, lakukan dengan prosedur resmi, bukan lewat opini sepihak atau pemberitaan yang tidak diverifikasi. Kritik boleh, tapi jangan sampai membunuh niat baik masyarakat untuk berbuat,” tambahnya.
Baca Juga: Skandal BBM Murah: Pengamat Nilai Negara Bisa Tagih Kelebihan Selisih Harga