nasional

Skandal BBM Murah: Pengamat Nilai Negara Bisa Tagih Kelebihan Selisih Harga

Jumat, 17 Oktober 2025 | 10:26 WIB
Foto Ilustrasi - Bahan Bakar Minyak jenis Solar dalam beberapa Drum. (Ilustrasi/Gema Lantang.)

GEMA LANTANG, JAKARTA -- Kasus dugaan korupsi tata kelola bahan bakar minyak (BBM) yang menyeret mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, kini mulai merembet ke sejumlah perusahaan tambang besar.

Dalam surat dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, tercantum sederet perusahaan industri, termasuk PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Adaro Indonesia, dan PT Pama Persada Nusantara, yang disebut menikmati harga solar non-subsidi di bawah ketentuan pasar selama periode 2021–2023.

Namun, sejumlah pengamat menilai penyebutan nama-nama tersebut belum tentu menandakan adanya pelanggaran dari sisi pembeli, melainkan potensi kelalaian tata kelola dari pihak pemasok BBM.

Menurut pengamat hukum Fernandes Raja Saor, salah satu inti dakwaan adalah penetapan harga jual BBM oleh Patra Niaga yang terlalu rendah. 

“Singkatnya, jaksa menuduh bahwa Terdakwa menjual BBM non-subsidi kepada perusahaan swasta dengan harga yang lebih murah dari harga jual minimum (bottom price) yang seharusnya, bahkan ada yang lebih rendah dari harga pokok produksi Pertamina Patra Niaga” kata dia kepada wartawan di Jakarta, Jumat 17 Oktober 2025.

Baca Juga: Pertamina Sebut Tak Ambil Keuntungan soal Kelangkaan BBM SPBU Swasta

Ia menambahkan bahwa dalam rantai bisnis migas, pembeli tidak memiliki kendali atas perhitungan harga dasar, melainkan tunduk pada penawaran resmi dari pemasok.

“Pembeli kan biasanya menggunakan proses tender untuk mencari harga termurah, dan selama ini membeli BBM dari Patra Niaga karena selalu ditawarkan harga termurah. HPP dan Bottom Price Patra Niaga kan bukan informasi umum juga jadi wajar kalau pembeli tidak mengetahui harganya berapa. " ujarnya.

Potensi Kerugian Negara

Berdasarkan dakwaan, kerugian negara akibat penjualan solar non-subsidi di bawah harga pasar mencapai Rp2,54 triliun. Dari jumlah itu, PT Adaro Indonesia disebut menerima selisih manfaat sekitar Rp168,5 miliar, Vale Indonesia sebesar Rp62,1 miliar, dan PAMA sekitar Rp958 miliar. 

Menurut Fernandes, negara dimungkinkan untuk menagih kekurangan bayar atau pertanggungjawaban dari korporasi, namun pengembaliannya sebaiknya dibatasi menggunakan harga pembanding terendah. 

“Selama ini pembeli sudah menikmati harga yang lebih murah dari seharusnya. Jika tidak ada pengembalian, hal itu bisa dianggap sebagai keuntungan yang tidak semestinya (unjust enrichment). Namun, agar adil, jumlah yang dikembalikan sebaiknya tidak serta merta didasarkan pada HPP atau harga jual Pertamina, karena bisa jadi pembeli tidak akan membeli jika harganya setinggi itu." katanya.

"Idealnya, pengembalian mempertimbangkan juga selisih antara harga Patra Niaga yang dinilai terlalu rendah dan harga penawaran dari pemasok lain yang ikut dalam tender pembeli jika ternyata pemasok lain memiliki harga lebih murah dari harga jual Pertamina,” tambahnya.

Baca Juga: Skandal Solar Murah: Korporasi Besar Diduga Raup Keuntungan Triliunan

 

Halaman:

Tags

Terkini

D’Raja Law Firm, Mitra Hukum Terpercaya di Indonesia

Selasa, 16 Desember 2025 | 19:16 WIB

Pengamat: Perpol Kapolri tak Langgar Keputusan MK

Minggu, 14 Desember 2025 | 12:55 WIB

Pengamat Sebut Temuan Ombudsman RI Bukan Putusan Hukum

Sabtu, 13 Desember 2025 | 15:57 WIB

Tanfidziyah Copot Gus Ipul dari Posisi Sekjen PBNU

Sabtu, 29 November 2025 | 08:37 WIB