"Kami cukup khawatir akan menemukan catatan atau petunjuk tentang jasad yang membusuk, tetapi ternyata tidak demikian. Kami secara khusus khawatir akan adanya indikasi degradasi mikroba, tetapi ternyata tidak demikian, yang berarti bahwa lingkungan di museum ini sebenarnya cukup baik dalam hal pelestarian." kata Matija Strlič, seorang profesor kimia di Universitas Ljubljana.
Baca Juga: Rayakan HUT Ke 7, Vespa Pegawai Touring Ke Bangka
Menggunakan instrumen teknis untuk mengukur dan mengkuantifikasi molekul udara yang dipancarkan dari sarkofagus untuk menentukan status pengawetan tanpa menyentuh mumi adalah seperti Cawan Suci, kata Strlič.
"Hal ini berpotensi memberi tahu kita dari kelas sosial mana mumi itu berasal dan karenanya mengungkap banyak informasi tentang tubuh mumi yang relevan tidak hanya bagi konservator, tetapi juga bagi kurator dan arkeolog. Kami yakin bahwa pendekatan ini berpotensi sangat menarik bagi jenis koleksi museum lainnya." imbuhnya.
Baca Juga: Dampak Masa Depan Pendidikan Indonesia di Tengah Pemangkasan Anggaran Guna Efisiensi
Barbara Huber, seorang peneliti pascadoktoral di Max Planck Institute of Geoanthropology di Jerman yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan bahwa temuan tersebut memberikan data penting tentang senyawa yang dapat mengawetkan atau merusak sisa-sisa mumi. Informasi tersebut dapat digunakan untuk melindungi tubuh purba dengan lebih baik bagi generasi mendatang.
“Namun, penelitian ini juga menggarisbawahi tantangan utama: bau yang terdeteksi saat ini belum tentu berasal dari masa mumifikasi. Selama ribuan tahun, penguapan, oksidasi, dan bahkan kondisi penyimpanan telah mengubah profil aroma asli secara signifikan.” kata Huber.