GEMA LANTANG -- Aksi demonstrasi besar di Kathmandu, Nepal, pada 8 September 2025 berujung kerusuhan.
Peristiwa bermula saat Generasi muda atau Gen Z turun ke jalan dengan tuntutan perubahan bentrok dengan aparat, menyebabkan 19 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Sehari setelah peristiwa itu, krisis politik meledak di pucuk kekuasaan. Perdana Menteri (PM) Nepal, KP Sharma Oli mengundurkan diri, disusul Presiden Nepal, Ram Chandra Poudel.
Baca Juga: KBRI Dhaka Siapkan Rencana Kontinjensi untuk WNI yang Tinggal di Nepal
Kejatuhan dua pemimpin sekaligus menandai puncak gejolak terbaru di negeri Himalaya tersebut.
Berkaca dari hal itu, kini para pengamat menilai peristiwa ini bukanlah insiden tunggal. Huru-hara tersebut menjadi cermin dari luka lama Nepal yang belum sembuh sejak keruntuhan monarki hampir dua dekade lalu. Begini ceritanya:
Skandal Putra Mahkota di Tahun 2001
Britannica mencatat, salah satu titik balik besar terjadi pada Juni 2001, ketika Putra Mahkota Dipendra membunuh Raja Birendra dan delapan anggota keluarga kerajaan.
Baca Juga: Pastikan WNI di Nepal Aman, Kemlu Buka Opsi Pemulangan ke Indonesia
“Peristiwa itu mengguncang Nepal, tidak hanya karena hilangnya raja, tetapi juga karena cara tragis yang meruntuhkan kepercayaan rakyat pada monarki,” tulis Britannica dalam laporannya yang dikutip pada Sabtu, 13 September 2025.
Kekuasaan kemudian beralih kepada Gyanendra. Namun, di tengah pemberontakan Maois yang sudah meletus sejak 1996, langkahnya dianggap justru memperburuk situasi.
Pada 2005, Gyanendra mengambil alih kekuasaan langsung dengan memberhentikan perdana menteri dan kabinet.
Baca Juga: Ironi Ketimpangan di Balik Kekacauan Demo Nepal
“Keputusan itu memicu protes besar yang berlangsung berhari-hari dan semakin memperlemah posisi monarki,” tulis Britannica menggambarkan situasi pemerintahan Nepal kala itu.